... sepenggal kisah....


….Untuk anak-anak yang diabaikan orang tuanya, sesungguhnya Tuhan menyambutmu…

.


"...Malam kelam menakutkan, tak ada satu bintangpun yang disisakan langit untukku, tapi malam seperti Ayah yang melindungi dan Siang hanya mengingatkanku pada apa yang pernah aku miliki..... "

Bab 1

Halusinasi

Kuseret langkahku ke luar dari kantor. Lampu berjuta warna terangi langit Jakarta.Menyadarkanku bahwa aku sudah seperti mesin yang terus dipacu. Sampai untuk menikmati waktu sendiri saja tidak ada. Ya, beginilah nasib bekerja di media .

Kutelusuri jalanan Jakarta yang basah oleh hujan sore tadi. Jakarta yang tak pernah mati dengan hiruk pikuknya.

Mungkinkah keajaiban bisa turun dari langit Jakarta yang merah oleh segala ambisi manusia?

Hey, kenapa aku bicara keajaiban?

Sejak kapan aku mengharapkan kejaiban turun dari langit?

Ah…, keajaiban itu tidak ada. Tepisku.

Toh, hidupku di Jakarta terus begini. Tidak ada perubahan. Untuk makan saja kadang susah. Meski sudah bekerja mati-matian. Ingin satu saat aku lari saja dari Jakarta.

Kilat tiba-tiba menyambar, hujan turun seketika.

Aku segera berlari mencari tempat berteduh, tepatnya di sebuah emperan toko yang sudah tutup.

Ya, cukup nyaman juga untukku berlindung dari hujan. Hujan begitu lebat, sampai-sampai mataku tak dapat menangkap sesuatu yang ada di depanku.

Sesekali terlihat lampu mobil yang melintas. Kilat menyambar dan angin seperti menari-nari mematahkan dahan-dahan pohon.

Aneh, hujan lebat itu seketika reda seperti menunjukkan bahwa keajaiban bisa turun di mana pun. Jika Tuhan menghendaki sesuatu terjadi. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang meringkuk di bawah pohon.

Astaga, rupanya anak kecil. Lho, kenapa dia? Kuhampiri anak itu, tampak darah segar merembes dari bajunya. Saat kuangkat, ada sesuatu mengganjal di punggungnya.

Oh…, Tuhan! Bajunya pun aneh, hanya kain putih yang melingkari membalut tubuhnya.

Jangan-jangan…?

Ah, aku tidak boleh berpikir macam-macam, aku harus menolongnya!

Aku tak ingat, bagaimana aku bisa secepat itu sampai di kamar kostku. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk menolong anak ini.

Kubaringkan tubuh mungilnya di tempat tidurku. Kubuka kain basah yang membalut tubuhnya.

Oh, Tuhan sesuatu menyembul dari punggung-nya…Sayap?

Anak ini bersayap?

Sayap itu lembut dan tetap kering meski kain yang membungkus tubuhnya basah. Darah itu keluar dari sayap kecilnya yang terluka. Kututup lukanya dengan kain kering.

Astaga…! Darah itu putih dan berkilau seperti cahaya.

Tuhan, mimpikah aku….

Matahari yang menembus jendela kamarku membuatku membuka mata.

Benar, aku bermimpi. Tapi semalam benar-benar hujan dan sisa hujan itu masih membasahi daun-daun. Dan apakah perjalananku dari kantor ke kost juga mimpi? Lalu bulu-bulu putih yang tertinggal di tempat tidurku itu bulu apa? Di sini tidak ada unggas. Ini benar-benar aneh. Firasat apa ini?

Seperti biasa kujalani rutinitasku: bangun pagi dan ke kantor. Sebenarnya posisiku di media ini hanya seorang pengisi kolom syair dan komik sekaligus merangkap ilustrator. Jadi, tugasku hanya merangkai kata yang lahir dari kegelisahanku dan kedalaman hatiku.

Kadang-kadang aku juga membual hanya untuk memenuhi tuntutan deadline. Jika kau lihat aku di jalan, atau sedang membaca gratis, berdiri di toko buku.

Aku bukanlah seperti seniman. Aku tidak gondrong seperti pekerja seni lain. Fisikku kecil dan wajahku baby face. Terlihat lebih muda dari usiaku yang sebenarnya. Kata orang, wajah lebih muda itu berkah.

Buatku tidak…, justru karena wajahku ini, banyak o-rang jadi semena-mena terhadapku. Kadang aku diperlakukan seperti adik. Padahal usiaku jauh lebih tua dari dia.

Oh, ya. Namaku Syan. Aku tak pernah bermimpi jadi pengisi kolom syair di Koran atau jadi seorang ilustrator. Entahlah dulu aku ingin jadi apa. Yang pasti aku tidak ingin jadi seniman atau ilustrator dan terus-terusan miskin…..

Lalu jika ada yang bertanya, kenapa aku bisa merangkai kata dan menggambar? Aku pun tak tahu. Bahkan, terkadang aku bukan apa-apa dan kemampuan yang kumiliki adalah sesuatu di luar diriku.

Aku sebenarnya bukan orang yang suka bergaul. Aku suka menyendiri. Asyik dengan pikiran-pikiranku sendiri. Terkadang aku insomnia. Mungkin, karena kebiasaanku tidak bisa tidur malam itu membuatku beberapa kali dipecat dari pekerjaanku. Bayangkan saja, sudah 10 kali aku keluar masuk perusahaan, hanya gara-gara “penyakitku” ini.

Tapi sampai sekarang pun aku tidak tahu mau jadi apa? Hidupku terasa membosankan. Aku juga tidak mempunyai siapa-siapa di Jakarta. Aku tidak memiliki seseorang yang benar-benar bisa menjadi teman, bahkan untuk bisa memahamiku.

Kecuali dia. Seseorang yang kutemukan di dunia maya di situs yang mirip dengan friendster. Identitas orang itu pun sebenarnya tidak jelas. Tapi itu tidak penting bagiku karena kurasa, hanya dia yang bisa memahamiku dan…. aku juga bisa mengerti kegelisahan-kegelisahannya.

Meski kami tak pernah berkontak fisik, tapi kami seperti memiliki hubungan batin yang dalam, yang mungkin tidak bisa dipahami oleh orang lain.

“ Hooi…, ngelamun aja Lo! Ntar kesambet, Lo.” Teriak Udin dari mejanya.

“ Gue ngantuk banget,nih!! Ud, semalem gue ga bisa tidur,” kataku

“ Kerjaan lo tuh, selesaiin dulu,” timpalnya.

“ Komik gue udah kelar buat sebulan, udah ada di file gue.” Sambungku.

Ahh…, ngantuk banget. Kusandarkan kepalaku di meja dan aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Tertidur mengarungi dunia mimpi yang lebih indah dari mimpi malamku. Begitu bangun, kulihat Udin sudah tidak ada di mejanya. Hanya ada dua wartawan dan satu editor yang masih asyik dengan pekerjaanya.

Line telepon di mejaku berdering, begitu kuangkat tak ada jawaban… mati. Kulihat jam di tanganku menunjukan pukul satu dini hari. Busyet deh, sudah berapa jam aku tertidur?

Malas sekali rasanya pulang. Ah malam ini, biarlah aku tidur di kantor saja. Saat aku mulai beranjak dari tempat duduk, line telepon di mejaku kembali berdering. Tidak hanya itu, semua line telepon di ruangan itu tiba-tiba, satu persatu berdering. Suaranya aneh hingga membuat bulu kudukku bergidik. Belum hilang rasa kagetku, semua lampu di ruangan itu mati, sesaat kemudian menyala kembali.

“Ada apa ini..?” Tanya Niken ketakutan.

“ Tenang…,” tutur Pak Suluh

“Istighfar.” Sambungnya berusaha menenangkan kami.

Baru saja Pak suluh selesai bicara, pintu kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku menutup sendiri seperti ada orang yang sengaja menutupnya dengan paksa. Niken dan Rany yang ketakutan menjerit dan saling berpelukan.

“Syan, antarkan mereka ke bawah. Minta Tarmin untuk mengantar pulang.” Kuturuti kata pak Suluh dan aku kembali naik ke lantai dua. Tidak ada apa-apa, hanya pak suluh yang masih terpekur berdoa.

Hari–hari selanjutnya, banyak kejadian aneh di kantor. Mulai dari karyawan yang terkunci di kamar mandi tepat di belakang meja kerjaku sampai office boy yang pingsan di kamar mandi itu juga. Banyak isu beredar. Ada yang bilang kantor itu dibangun di atas tanah kuburan, ada juga yang bilang nama Harian SKANDAL tidak membawa berkah, dan banyak lagi. Aku sendiri tidak begitu percaya dengan kejadian-kejadian itu. Telepon yang berdering itu mungkin memang ada yang iseng. Karyawan yang terkunci di kamar mandi itu juga mungkin selot kunci memang udah rusak, sedangkan office boy yang pingsan itu mungkin karena belum makan pagi.

Aku menjalani pekerjaanku seperti biasa dan menyikapinya dengan tenang, dengan setengah mengantuk dan malas-malasan, kuselesaikan gambar illustrasiku.

“Gambar kamu itu misterius.” Celetuk Pak Edward, redaktur pelaksana itu dingin untuk kemudian naik ke tangga. Aku jadi ga mood melihat sikap dinginnya. Kurasakan beberapa hari ini orang di kantorku bersikap aneh padaku. Si Udin yang biasa memberi masukan atas semua illustrasi dan syairku, balik menghujat.

“Komik tuh sebenarnya ga gitu perlu di sini. Cuma inefficiency kantor aja.” Katanya ketus. Aku hanya diam. Kucoba mencerna semua sikap dan ucapanya. Ada apa sebenarnya? Sampai-sampai ada yang meminta aku mengulang ilustrasi sampai tiga kali. Tak seperti biasanya. Cara orang-orang melihatku juga aneh. Aku jadi ga nyaman aja kalau terus-terusan begini. Aku mulai berpikir, selesai mengerjakan tugasku aku pergi saja. Pernah juga aku dihujat habis-habisan berkaitan cerita komik yang aku buat. Komik yang menceritakan tentang perjuangan seseorang dari kelas bawah yang berjuang untuk mempertahankan hidup itu katanya tidak berkelas untuk Koran Harian itu.

“Kamu tahu enggak, Koran ini ditujukan untuk menengah ke atas…” kata redakturku waktu itu. Seperti geledek menampar muka. Anjriit, rutukku lalu apakah o-rang miskin tidak boleh dijadikan bahan untuk cerita. Padahal jika kita mau pahami, pesan moral dalam komik itu sangat terasa. Dibandingkan komik–komik yang hanya mengandalkan lelucon dan hanya menyindir–nyindir. Kutinggalkan redakturku begitu saja dan kembali ke mejaku.

Adzan Dzuhur menggema di antara kesibukan suasana kantor. Kupikir kantor ini sudah seperti pasar. Kadang membahas headline saja debat mati-matian. Aku beranjak dari mejaku mengambil air whudhu dan sholat di kamar istirahat wartawan.

Dengan sepenuh hati yang ikhlas aku bersujud dan berpasrah pada-Nya. Seusai sholat, aku masih khusuk berdoa. Tiba-tiba kurasakan tubuhku lemah, sesuatu masuk ke dalam ragaku.Entah apa aku sendiri tidak tahu. Yang kulihat hanya sinar putih benderang kemudian berpendar membias menjadi warna-warni, kemudian aku merasa melayang dan melihat diriku yang lain terbaring dikelilingi semua orang.

“ Syan sadar!….Syan…” kata mereka.

“Ambilkan minyak kayu putih.” Teriak Udin teman sebelah mejaku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Sementara yang lain panik lari kesana-kemari.

“Kita bawa saja ke rumah sakit.” Kata redakturku. Sementara diriku yang lain semakin ringan melayang membumbung, menembus langit-langit kantor terus naik melayang tinggi… dan tinggi. Tak ada matahari tak ada awan, tak ada apapun. Aku seperti berada di tempat yang luas tak berbatas. Sebelum aku sempat menyadari apa yang terjadi, seseorang telah berada di depanku. Mengambang tak berpijak. Sorot matanya tajam dan mampu menembus bagian dalam dari diriku. Bahkan ia seperti masuk ke dalam pikiranku dan kami berkomunikasi dengan cara yang aneh. Mulutnya tidak berucap tapi aku mampu merasakan apa yang dikatakannya.

“ Aku mengundangmu ke sini karena hanya kau yang pantas kuundang….”

“Aku?”

“Ya, kau ingat anak kecil yang kau tolong saat hujan lebat? Itu adalah aku…” kutatap makhluk di depanku itu. Wujudnya aneh, setengah dari wujudnya adalah cahaya. Terlihat samar dan ada sesuatu menyembul di punggungnya seperti sayap.

“Kau orang yang ikhlas,” terusnya.

“Tidak… aku tidak seperti itu. Hidupku penuh dosa dan kebohongan. Aku bekerja di media yang seharusnya menyuarakan kebenaran. Tapi, aku seperti diajarkan untuk mengingkari kebenaran itu sendiri. Banyak narasumber yang merasa terfitnah, tertekan dan merasa dirugikan atas tulisan kami di Koran. Meskipun aku tidak ikut berperan tapi aku sudah menjadi bagian dari mereka, aku berdosa, aku sudah menggambar ilustrasi atas kebohongan mereka….”

“ Itulah.. kau mampu menyadarinya. Rasa bersalahmu adalah jiwa sucimu.”

“ Lalu untuk apa aku berada di sini?”

“ Kau kupilih untuk membantuku.”

“ Membantumu?”

“Ya! Aku adalah malaikat yang berdosa…. Aku pernah berada di bumi untuk mengawasi tingkah laku manusia. Berada di antara manusia membuatku memiliki hasrat, dan hasrat itu sendiri adalah dosa. Aku dihukum untuk mengalahkan raja iblis yang bertahta di antara awan-awan gelap. Aku bertarung dengannya. Ia mengacaukan awan-awan dan petir untuk menyerangku. Aku terluka jatuh ke bumi dan kau menemukanku. Hati ikhlasmulah yang menyembuhkan lukaku dan mengembalikan aku ke langit. Sekarang bumimu dalam bahaya karena raja iblis menurunkan hawa jahatnya. Tempatmu bekerja adalah sasarannya karena memang tempat itu dulunya adalah tempat roh-roh penasaran dan jiwa-jiwa yang tidak diterima. Perlu kau ketahui, separuh dari orang-orang di kantormu adalah jiwa-jiwa sesat yang tersedot oleh kekuatan jahat tempat itu. Sesungguhnya tempatmu bekerja itu berdiri di atas kerajaan iblis.”

“Kerajaan iblis?”

“Ya, kerajaan itu sudah ada sejak beribu-ribu tahun yang lalu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Tugasmu adalah menyadarkan manusianya, biar aku yang menghadapi raja iblis.”

“Tapi, aku bisa apa?”

“Ini adalah tugas mulia. Kau jangan khawatir. Saat kau mengalami kesulitan akan ada orang yang membantu-mu. Mungkin saat ini orang itu belum bisa kau temui tapi kehadirannya bisa kau rasakan. Kau bisa cerita apa saja padanya dan yang harus kau lakukan hanya menjalankan pekerjaanmu sepenuh hati. Ikuti saja hatimu maka kau sudah membantuku. Sekarang kembalilah. Sebelum mereka mengubur ragamu.” Selesai bicara, makhluk itu menghilang dan bersamaan dengan itu aku pun tak tahu aku berada di dunia mana. Yang kurasa hanya ringan seperti melayang sebelum akhirnya aku merasakan rasa nyeri di lenganku. Dan begitu mataku terbuka, ada infus di lengan kiriku.

Pelan–pelan kuamati seseorang di sampingku. Sesosok tinggi besar yang sudah cukup aku kenal. Pak Edward, redakturku, ia menjagaku di sini, pikirku. Tetapi begitu kuperhatikan dengan seksama dari atas ke bawah, di tangannya tergenggam sesuatu. Sebuah pisau tajam, sementara tangannya yang lain menggenggam selang infusku. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tak bisa dipercaya. Dia menarik-narik selang infusku. Entahlah ia mau memotong selang infusku atau mungkin nadiku. Aku ingin teriak tapi entah kenapa mulutku tak bisa mengeluarkan suara. Tak berdaya. Oh, Tuhan tolonglah...handphone di saku celanaku berbunyi mengagetkan Pak Edward hingga pisau di tangannya jatuh. Terdengar langkah suster dari luar yang kemudian masuk.

“Ada apa, Pak? “ Tanya suster itu pada pak Edward.

“Ga ada apa-apa, hanya pisau jatuh.” Jawab pak Edward tenang sambil memegang buah pura-pura mau mengupaskannya untukku.


Bab 2

Dunia Maya

Kubuka handphoneku, ada sebuah sms dari Ra. Teman dari dunia mayaku.

“Apa kabar, Syan? Lama ga kirim e-mail. Kau baik-baik saja kan?” Aku ingat apa yang dikatakan makhluk aneh itu kalau aku akan mendapatkan teman yang belum bisa aku temui tapi kedatangannya bisa aku rasakan. Ya, ia adalah Ra. Sms-nya saja telah menyelamatkan nyawaku. Aku tak habis pikir dengan kejadian-kejadian dan semua yang kualami. Kenapa pak Edward mau membunuhku?

Beberapa hari aku tidak masuk kerja. Kucoba renungi apa yang terjadi. Kejadian-kejadian aneh itu benar-benar tidak bisa dipikir dengan nalar. Hari ini aku ingin melupakan sejenak kegiatan di kantor. Aku ingin pergi ke mana pun aku ingin menikmati waktuku. Persetan dengan deadline! Persetan!

Aku pergi ke warnet. Ada kerinduan tersendiri saat aku membuka e-mail yang dikirim Ra padaku. Bukan kerinduan seperti rindu pada kekasih. Tapi kerinduan eksklusif yang mungkin tidak mampu dipahami oleh nalar. Hubunganku dengan Ra sangat erat. Kami seperti satu nafas dengan raga yang berbeda. Perasaanku sama seperti apa yang dia rasakan. Bahkan kami bisa merasakan ketika satu di antara kami mengalami musibah maupun kegembiraan. Pernah ada yang bilang, di dunia ini kita memiliki tujuh kembaran yang sama yang ketujuhnya bisa saja mengalami hal-hal yang sama yang mungkin tak mampu dijelaskan dengan logika. Konon kalau satu di antara kita bisa bertemu akan memiliki kekuatan yang tak terbatas. Kekuatan hati yang mungkin bisa mengalahkan segala kegelapan, dusta, dan segala macam keangkaramurkaan. Tapi kalau memang kami kembar, kenapa usia kami jauh berbeda. Dari tindakan dan sikap, Ra lebih matang dari aku. Sementara aku muda, tidak sabar, dan tergesa gesa. Mungkin hubungan kami cocok karena kami sama-sama tidak memiliki seseorang yang bisa mengerti kegelisahan-kegelisahan kami. Dan Tuhan mempertemukan kami untuk saling mengisi dan melengkapi meskipun kami berbeda usia dan berbeda status sosial. Kami bisa saling melengkapi. Kubuka e-mail dari Ra.

Syan,

Apa kabarmu? Lama ga dengar cerita-ceritamu.

Ra.

E-mail singkat itu kubalas dengan cerita panjang tentang keganjilan-keganjilan yang aku alami dan inilah salah satu email yang membuat jalinan hati kami makin erat, saling membutuhkan. Saling bercerita tentang perjalanan hitam-putih hidup kami. Tanpa satupun yang kami tutupi. Kami saling percaya seolah kami adalah satu. Melebur mengarungi dunia hati yang misterius. Yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa kami yang gelisah.

Ra,

Sesungguhnya di Jakarta ini aku mencari ayahku. Ibu bilang ayahku meninggal sebulan sebelum aku lahir. Tak ada satu barang wasiat pun yang ditinggalkan ayah untukku. Bahkan fotonyapun tidak ada. Aku tidak bisa mengenal bahkan membayangkan wajah ayah seperti apa? Tapi kalau menurut tetangga dan orang-orang yang pernah dekat dengan Ibu, ayah tidak meninggal. Aku memang tidak memilikinya. Bagaimana mungkin aku lahir tanpa ayah? Ada lagi yang bilang ayahku adalah Pak Nando, manager di sebuah perusahaan Advertising. Karena kabarnya, ibuku adalah pacar gelap Pak Nando waktu bekerja di perusahaan itu.

Ra,

Kalau benar ayahku adalah Pak Nando berarti ayahku adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Ah, aku tidak boleh menuduhnya tidak bertanggung jawab. Mungkin ada hal lain yang membuatnya melupakan tanggung jawab.

Ra,

Betapa waktu kecil aku suka cemburu melihat temanku yang selalu di jemput Ayahnya. Ayahnya juga selalu khawatir, tidak boleh begini tidak boleh begitu. Saat ada masalah, temanku selalu menangis dan mengadu pada ayahnya. Sedangkan aku, tak ada laki-laki dewasa yang aku panggil ayah. Aku juga tidak mengadu pada Ibu. Ibu justru akan marah jika aku ada masalah. Ibu pasti akan bilang “Kau memang nakal seperti ayahmu.” Sekarang keinginan terbesarku adalah mencari ayahku. Entah di dunia mana, aku hanya ingin melihatnya.

Syan.

Dan e-mail yang kutulis selalu dibalasnya.

Syan,

Kuharap kamu tidak menyalahkan siapa-siapa atas kejadian-kejadian dalam hidupmu. Semuanya sudah ada yang mengatur. Aku akan selalu mendampingimu meski entah kapan kita bisa bertemu. Membaca cerita-ceritamu, aku merasa seperti orang yang paling jahat di dunia. Mungkin aku seperti ayahmu. Dulu aku tenggelam dalam kehidupan bebas. Aku bercinta dengan banyak orang baik dari orang kelas bawah sampai kalangan paling atas. Aku dikaruniai wajah yang lumayan. Bahkan ada orang yang menawarkan kemewahan asal bisa bersamaku. Aku tak berdaya menghadapi mereka. Bahkan aku hampir tidak bisa lepas dari dunia semu yang melelahkan ini.

Syan,

Mungkin tetesan sperma yang keluar dari tubuhku menjadi anak sepertimu, bahkan mungkin itu kamu. Aku tak pernah memikirkan sebelumnya. Yakinlah satu saat kau akan menemukan Ayahmu. Kalaupun kau tidak menemukannya aku yang akan mendampingimu untuk meraih semua yang menjadi cita-cita dan mimpimu.

Jabat erat

Ra

Itulah hubungan unik yang terjadi antara aku dengan Ra. Sejak mengenal Ra, aku tidak merasa takut lagi di Jakarta meski sesungguhnya banyak hal yang harus aku hadapi sendiri.

Aku keluar dari warnet. Siang hari, terik matahari dan debu jalanan tidak menyurutkanku. Aku berjalan dan hanya berjalan mengikuti ke mana kakiku melangkah. Ada keasyikan tersendiri ketika aku berada di toko buku. Berlama-lama membaca sampai kakiku pegal-pegal. Kadang sampai ada respon dari penjaga toko yang membanting-banting buku di dekatku. Pertanda bahwa aku harus segera pergi.

Untuk melepas lelah, hanya dengan menu paket hemat, aku bisa nyaman duduk di pojok sebuah fast food. Sambil memperhatikan berbagai macam karakter manusia yang bisa aku jadikan cerita dalam komikku. Selesai makan, aku beranjak, sasaranku adalah toko buku loak di Kwitang. Di sini aku bisa memborong buku-buku murah.

Saat melintasi lampu merah mataku menangkap anak jalanan yang menengadahkan tangannya pada orang-orang yang lewat di tempat itu. Saat kuberikan uang ribuan ke tangannya, ia tampak senang.

“Oom, foto aku, dong!” Katanya lucu sambil melihat kamera yang tergantung di pundakku. Wajah polosnya mengusik hatiku. Mungkin anak ini adalah korban keegoisan orang tua. Sama nasibnya seperti aku. Mungkin orang tuanya meninggalkannya begitu saja, hingga ia harus mengemis meminta belas kasihan orang. Mereka adalah anak-anak “yang tak pernah tersentuh cinta”. Tak ada salahnya aku mengajaknya ngobrol, mentraktirnya makan atau minum es cendol.

“Dede mau difoto?” Anak kecil itu tersenyum-senyum malu. Segera kujepretkan kameraku untuk menyenangkan hatinya. Wajahnya tampak ceria senang.

“Om, nanti kalau fotonya udah jadi, mampir ke sini,ya..aku pengin lihat fotonya “ katanya polos. Aku hanya tersenyum.

“Dede mau es cendol?”

“Heem”

“Pesen sama abangnya. Nanti biar Om yang bayar.” Aku tak peduli banyak orang yang lalu lalang melihatku aneh. Minum es cendol dengan anak jalanan.

“Dede punya orang tua?” Tanyaku lagi.

“Iya..” Katanya singkat.

“Bapak kamu kerjanya di mana?” Tanyaku lagi.

“Di proyek…bangunan.” Hm…ternyata anak ini lebih beruntung dari aku. Dia memiliki orang tua tapi kenapa ia ada di jalanan.

“Lalu kenapa kamu harus ngamen?”

“ Kata bapak, aku harus kerja agar aku bisa jajan.” Katanya polos.

“Dede, sekolah.?”

“Iya… jawabnya ragu.”

“Sekolah di mana? Kelas berapa?”

“Di SD Petamburan, kelas dua.” Ternyata aku tertipu kupikir anak ini tidak memiliki keluarga. Justru orang tuanyalah yang menyuruhnya begini. Ah…aku semakin tidak mengerti dengan Jakarta.

“Om, tasnya bagus.” Katanya lucu, memegang-megang tasku. Sambil menarik-narik talinya. Kubiarkan saja ia melakukanya.

“Om, makasih ya. Udah difoto, udah dibeliin es. Aku mau ngamen lagi.”

“Ya sudah, dede hati-hati, ya.” Kataku sambil mengelus rambutnya yang kumal. Anak itu tersenyum kemudian berlalu. Saat melintasi lampu merah, masih kulihat anak itu berlari-larian dengan teman-temannya dan tertawa-tawa. Aku tak mengerti, begitu kupegang bagian belakang tasku, handphoneku sudah raib. Anjrit. Anak sialan itu sudah mengambilnya.

“Hei…!” teriakku, mencoba mengejar anak jalanan itu. Tak berapa lama aku sudah memegang tangan kecilnya dan merogoh sakunya. Benar handphone itu ada di sakunya. Anak itu tampak ketakutan dan memasang tampang memelas.

“Dede, siapa yang mengajarimu untuk mengambil handphone?” Kataku geram. Anak itu semakin ketakutan dan dari matanya mulai keluar butiran bening.

“Hey, bang jangan asal main tuduh.” Suara di belakang mengagetkanku. Seorang lelaki kurus gondrong, sudah petentang-petenteng ke arahku.

“Hey, anak mana lo? Jangan belagu jadi orang kaya.” Katanya. Aku tersenyum.

“Haha… Memangnya aku punya tampang orang kaya… Aku juga orang laper kaya elo. Cuma aku masih mau kerja. Jadi aku masih bisa makan, beli baju. Makanya jangan jadi preman. Kerja atuh…”

“Bangsat!” Laki-laki gondrong kurus kering itu tampak emosi. Darahnya sudah naik ke ubun-ubun. Tangannya di acung acungkan kearahku. Aku tak mempedulikan sumpah serapahnya. Segera aku menyebrang jalan, tak ada gunanya meladeni preman. Namun laki-laki kurus kering itu.

“Hey, berhenti!” Teriaknya sambil mengejarku. Baru saja aku menengok ke belakang. Terdengar suara rem berdecit. Entah bagaimana kejadiannya. Laki-laki preman itu sudah terkapar di bawah roda sebuah mobil. Seketika suasana menjadi ramai oleh orang-orang yang ingin melihatnya. Aku segera bergegas meninggalkan tempat itu sebelum mendapat masalah baru.

Laki-laki itu masih mendekapku sementara aku masih bingung apa yang harus aku lakukan. Rasa rindu yang membuncah sekaligus rasa sakit ketika ingat dia tak bisa kumiliki

Bab 3

Menemukan Ayah

Lelah yang amat sangat menyerangku. Aku ingin sekali menempelkan bebanku di bantal. Kulemparkan diaryku begitu saja. Bagiku, buku diary itu adalah teman sejatiku. Dia tak pernah rewel saat aku ingin curhat menumpahkan segalanya. Aku tak punya teman. Dan aku tidak percaya diri jika harus cerita tentang masalah pribadiku pada teman kecuali pada Ra. Kubanting tubuh lelahku di karpet biru. Kupeluk erat-erat gulingku. Baru saja aku arungi dunia mimpiku, tanganku menyentuh sesuatu. Sebuah kertas kecil. Kertas itu tertulis Unique advertising. Dan sebuah nama: Nando Wijaya.

Tuhan, bagaimana aku bisa menemui Ayahku? Bagaimana membuat ia percaya kalau aku adalah anaknya? Tidak….dia bukan Ayahku, dia meniggalkanku sampai aku sebesar ini. Dia menelantarkan Ibu. Seorang Ayah tidak akan melakukan itu. Dia itu hanya bajingan. Binatang…aaargh! Seketika perih menyesakkan dadaku.

Kubuka jendelaku dan aku naik ke atasnya, dari sini aku bisa melihat malam. Ingin kuteriakkan pada malam kalau aku ini hanya anak haram. Anak sialan yang tak sepantasnya hadir di dunia. Betapa sejak kecil aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Tak pernah merasakan disentuh ayahku. Sendiri dan ketakutan.

Kukeluarkan sebatang rokok dan aku mulai menghisapnya Asap rokok itu mulai mengalir dalam darahku. Kembali kuhirup dalam-dalam rokokku dan kuhembuskan asapnya ke udara seperti aku ingin menghempaskan masalahku. Kutatap langit. Bulan bintang mengajakku menari mengagumi pesona sunyi. Seperti sunyi hatiku yang terluka.

Aku masih saja berharap Ayahku kembali pada ibuku. Bagaimana mungkin dia mau meninggalkan istri dan anak-anaknya yang sah hanya untuk tinggal bersama kami. Sedangkan, ibuku hanya simpananya. Anjriit. Kenapa aku harus lahir dari seorang ayah yang bejat seperti dia? Kenapa? Kenapa Tuhan?…ayo jawab...kenapa sepanjang hidupku aku harus menanggung malu karena aku anak haram. Apa bedanya, Tuhan? Aku juga seperti anak yang lain. Kalau boleh kupinta, aku juga tidak ingin dilahirkan menjadi anak yang tidak memiliki ayah. Apa dosaku? Apakah ini kutukan yang kau turunkan padaku Tuhan? Kenapa…kenapa aku harus menanggung semua ini? Ini melampaui batas kemampuanku. Katakan, Tuhan. Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Aku terus bicara pada Tuhan, bicara pada malam.

Rasa lelah dan ngantuk yang yang tadi menyerangku hilang oleh sesak yang memenuhi dadaku. Aku masih terpekur dalam pelukan malam. Sampai hangat matahari membuatku terkapar oleh indahnya mimpi siang. Aku terbangun tengah hari. Kukumpulkan segenap kekuatan untuk memulai sesuatu yang menjadi tujuanku datang ke kota ini. Aku harus berani, aku harus bisa dan aku siap menghadapi hal terburuk yang mungkin akan terjadi sekalipun.

Setelah mandi aku segera beranjak naik bus dari depan kostku. Tujuanku adalah Unique Advertising di Grand Wijaya.

“Pak, Grand Wijaya di mana ya?” Tanyaku pada security mal di blok-M.

“Ga jauh, kok dek, naik ojek aja dari sini, paling goceng,” katanya

“Ya, makasih, Pak” sampai di Grand Wijaya kucari blok D-1 no.9. Sampai di ruko blok D-1no.9 aku hanya bisa berdiri di depannya. Apa yang harus aku lakukan? Ayahku tidak akan mungkin mengenaliku. Bagaimana mengatakan kalau aku adalah anaknya? Entahlah aku bingung dan terduduk di depan kantor itu. Hatiku campur aduk tidak karuan. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku harus memulainya? Oh, selemah inikah aku? Hey, Syan mana keberanianmu? Mana anak yang selalu berani menghadapi apapun itu? Mana semangatmu? Oh. Kenapa dengan diriku? Kenapa aku bisa sepengecut ini? Kau harus berani, Syan. Kau harus kuat. Takkan terjadi apa-apa padamu. Aku selalu mendampingimu. Semangat dari Ra yang selalu dituliskan lewat emailnya terus dan terus mendorongku, merasuk ke dalam jiwaku. Pelan-pelan ada kehangatan yang merasuk ke dalam jiwaku menjadi kekuatan yang aku sendiri tidak bisa menjelaskannya. Inilah saatnya, pikirku. Baru saja aku hendak beranjak. Seseorang menyapaku.

“Mau melamar kerja, Dik?” Tanya seseorang berseragam satpam.

“Eh ga, Pak…saya mencari Pak Nando…” ungkapku ragu. Satpam itu menatapku dari atas ke bawah.

“Adik ini siapanya Pak Nando?”

“Saya…eh…anaknya, eh bukan. Saya saudaranya dari Jawa..”

“Baiklah, ayo masuk dulu.” Kata satpam itu ramah. Aku mengikuti saja apa yang dikatakan security itu.

“Adik duduk saja dulu, biar bapak panggilkan.” Kuhempaskan tubuhku di sofa kantor itu. Sementara satpam itu tampak menelpon dan berbicara serius. Tidak berapa lama, satpam itu menghampiriku.

“Adik disuruh naik ke ruangan Pak Nando. Ayo, biar bapak antarkan.” Aku mengikuti langkah satpam itu. Melewati meja karyawan. Mereka sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku masuk ke sebuah ruangan.

“Silahkan dik, itu Pak Nando…”kata satpam itu mempersilahkanku sebelum pergi meninggalkan aku. Aku masih berdiri terpaku menatap seseorang yang ada di depanku.oh, Tuhan inikah ayahku yang sudah bertahun-tahun aku mencarinya.

“Silakan duduk!” kata laki-laki itu. Kuperhatikan fisik laki-laki itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Apakah ada yang mirip denganku. Ah, kurasa tidak. Aku kecil, sementara laki-laki ini tinggi besar. Nyaliku jadi ciut benarkah ia ayahku?

“Maaf, adik ini siapa? Dan ada keperluan apa mencari saya?” katanya ramah. Aku bingung hatiku tak menentu. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana aku memulainya?

“Aku…aku..eh..”

“Kamu kenapa?” Tanya laki-laki itu bingung.

“Tenang, Dik. Jangan takut. Coba katakan ada keperluan apa kamu ke sini.” Aku tak juga mampu bicara. Kubuka tasku dan kukeluarkan sesuatu dari dalam tasku. Laki-laki itu mendekat dan melihat foto yang ada di tanganku.

“Bapak kenal ini?” Entah kekuatan dari mana aku mulai bisa bicara. Laki-laki itu menatap foto di tanganku tampak dahinya berlipat sementara keringat dingin mulai keluar dari tubuhku menunggu respon darinya.

“Tidak, aku tidak mengenalnya?” Ucapannya seperti geledek menyambar telingaku meruntuhkan benteng harapan yang sudah susah payah aku bangun. Sejenak aku tidak bisa bergerak, tubuhku terasa kaku. Setelah aku bisa menguasai diri, aku berniat untuk segera cepat-cepat permisi keluar dari tempat itu. Namun tiba-tiba laki-laki itu tertawa-tawa, aku jadi tidak mengerti.

“Haha..kamu lucu kalau bingung gitu.” Aku jadi semakin tak mengerti.

“Duduklah!” katanya

“Jadi?”

“Ya, aku mengenalnya seperti aku mengenal diriku. Dia adalah perempuan yang paling aku sayang juga yang paling aku benci.tapi sekarang ia menghilang seperti di telan bumi.” Sejenak laki-laki itu seperti menerawang seperti terbawa oleh kenangan masa lalu bersama orang yang ada di foto Itu. Sekilas dapat kulihat kesedihan dan kegembiraan yang tergambar di di raut wajahnya. Begitu dalamkah kenangan laki-laki itu dengan ibu? Laki-laki itu masih terdiam hanyut oleh emosi yang aku sendiri tidak tahu.

“Adik ini siapa?” katanya pelan sambil mendekat padaku.

“Saya Syan, anak dari Palupi,” kataku ragu…laki-laki itu menatapku kemudian memegang kedua pundakku seperti meyakinkan bahwa yang ada di depannya adalah aku, anak Palupi. Aku sendiri bingung, benarkah ia ayahku? Namun laki-laki itu sudah memelukku. Aroma khas orang dewasa dan after shafe tercium dari pipinya. Badannya hangat. Baru kali ini aku dipeluk ayahku. Tapi ah, benarkah ia ayahku?

“Kau anakku, Syan. Dulu waktu hamil, ibumu memintaku untuk melepaskan istriku. Tapi aku tidak bisa. Aku lebih memilih keluargaku karena aku sudah punya dua anak dari istriku, maafkan aku.” Laki-laki itu masih mendekapku sementara aku masih bingung apa yang harus aku lakukan. Rasa rindu yang membuncah sekaligus rasa sakit ketika ingat dia tak bisa kumiliki dan nantinya akan kembali pada keluarganya membuatku tidak menentu. Tak terasa butiran bening keluar dari mataku. Entahlah aku menangis bahagia atau menangis sedih karena sudah diterlantarkannya. Yang pasti, aku sudah menemukan ayahku.

Yah, ayahku. Bertahun-tahun aku merindukannya. Bahkan sejak aku lahir, baru hari ini aku bisa menyentuhnya. Menyentuh ayahku. Yah, ini bukan mimpi. Ini nyata. Ingin sekali aku bisa membawanya pada ibuku. Ingin sekali aku bisa membuat ibu bahagia, ingin sekali aku bisa menghentikan tangis ibu. Tapi kurasa Ibu membencinya. Sudah terlalu dalam luka yang ditorehkannya. Hingga mungkin tak ada lagi cinta yang tersisa untuk ayah. Kami masih berdekapan dan rasanya berpelukan tidak cukup untuk melepaskan kerinduan kami.

“Syan. Syan, bisa maafkan ayah?” Katanya lirih. Suaranya yang khas dan berat mengobati kehausanku pada figur ayah yang sejak kecil aku rindukan.

“Syan, udah maafkan ayah jauh sebelum Syan ketemu ayah.”

“Makasih, Syan. Kau memang jagoan ayah.”

“Apakah ayah sayang Syan?”

“Iya, Syan. Sesungguhnya ayah sangat menyayangimu..” Ucapnya terbata tertahan oleh sengguknya yang makin hebat bahkan beberapa kali air matanya jatuh ke lenganku.

“Tapi kenapa ayah ga pernah nengokin Syan? Apakah ayah tak tahu Syan sangat merindukan ayah?”

“Maafkan ayah, Syan. Bukan ayah nggak mau nengokin kamu. Waktu itu ibumu pergi dalam keadaan hamil. Tak ada satupun jejak yang ditinggalkan ibumu. Ayah ga tahu harus cari kalian di mana. Sekarang anak yang dikandung ibumu itu sudah sebesar ini. Oh, Syan maafkan ayah. Syan bisa mengerti kan?” Aku hanya mengangguk. Kami masih saling berpelukan, saling menguatkan dan saling bertahan untuk tidak melepaskannya. Namun suara telepon mengagetkan kami. Ayah melepaskan pelukannya dan bergegas mengangkat telp.

“Iya, Ma. Papa ada urusan mendadak jadi malam ini mungkin papa pulang telat.” Kata ayah bicara dengan seseorang di telepon. Aku tahu ayah bicara dengan istrinya. Aku tahu aku takkan bisa memiliki ayah sepenuhnya karena aku hanya anak dari hubungan yang tidak resmi. Dadaku kembali sesak hatiku kembali hancur. Namun ayah segera menutup teleponnya dan merangkulku.

“Malam ini ayah menjadi milikmu. Kau minta ayah ajak ke mana? Ayah akan turuti apapun keinginanmu malam ini.” Jika bisa, aku ingin minta ayah mengembalikan masa kecilku yang telah hilang bersamanya. Tapi aku hanya diam dan membiarkan ayah membawaku kemana pun ayah mau. Akhirnya kami keliling Jakarta dengan mobilnya. Dan berlabuh di sebuah restoran yang nyaman. Kami saling bercerita tentang pengalaman hidup kami.

Tak bisa kusembunyikan, aku cemburu saat ayah menceritakan tentang istri dan anak-anaknya yang katanya pintar-pintar. Aku juga cemburu saat ayah menawarkanku untuk bertemu mereka. Rasa sakit itu kembali mengoyak hatiku. Tidakkah dia paham bahwa merekalah yang memisahkan kami. Bahwa merekalah yang membuat hidupku tak menentu. Membuat aku dibesarkan tanpa seorang ayah. Oh, mestinya aku juga paham bahwa ibu hanya istri yang kedua. Ibuku hanya simpanan ayah. Ibuku hanya pelarian ayah tak lebih. Mestinya aku yang tahu diri. Tapi apa salahku… entahlah aku tak mengerti.

“Syan kau hebat. Bisa jadi ilustrator, tentunya kau pinter gambar dong.”

“Sebenarnya Syan ga suka jadi ilustrator. Seandainya dulu Syan kuliah, Syan ga akan jadi ilustrator. Seandainya dulu ayah dampingi Syan, tentu Syan akan lebih bisa meraih semua yang Syan cita-citakan.” Ayah terdiam mendengar ucapanku. Aku tahu ayah terluka dengan ucapanku aku jadi menyesal dengan apa yang aku ucapkan.

“Syan belum bisa maafkan ayah? Ayah tahu, ayah sudah meninggalkanmu dan ibumu. Tapi asal Syan tahu itu juga bukan yang ayah mau. Kamu bisa mengerti kan?”

“Maafkan Syan, Ayah?”

“Ya, sudah ga ‘papa,” katanya sambil mengusap-usap rambutku dengan tangannya. Aku menikmati sekali saat ia melakukannya meskipun sepertinya aku tak pantas lagi untuk merasakan perlakuan seperti itu.

Seandainya waktu bisa diputar aku ingin kembali lagi ke masa kecil. Menikmati indahnya masa kecil bersama ayah. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya pada ayah. Aku ingin merengek minta sesuatu pada ayah. Aku ingin ngompol di baju ayah. Aku ingin nakal sampai ayah kewalahan menghadapiku. Seandainya waktu bisa diulang, ayah akan tahu betapa repotnya punya anak senakal aku. Ah, aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya.

“Syan, kamu kenapa? Ngeledek Ayah, ya?” katanya, sambil mencolekku dan mengedip-ngedipkan matanya. Kami tertawa berdua. Rasanya aku tak ingin lagi berpisah dengan ayahku. Namun aku tahu aku takkan bisa memiliki ayahku seutuhnya.

“Syan, tak kukatakan pun kurasa kau sudah tahu. Sudah saatnya kita harus pulang. Kalau ada apa-apa datanglah pada Ayah. Ayah akan selalu ada untukkmu, Syan.”

“Ayah, sudah bertahun-tahun kita tidak bertemu. Cuma beginikah pertemuan kita?”

“Maafkan ayah, Syan. Ayah sudah punya keluarga, mereka menunggu Ayah jika Ayah tidak pulang.”

“Jadi apakah Syan bukan keluarga ayah?”

“Syan, Ayah tak tahu lagi harus bilang apa lagi padamu.” Ayah memelukku, aku hanya diam kecewa dengan sikapnya yang lebih mementingkan keluarganya dari pada aku yang bertahun-tahun tak pernah bertemu dengannya. Benar apa yang kukira aku tidak ada artinya di mata ayah. Benar kata ibu kalau aku tak perlu mencari di mana ayah. Ayah memasukkan sesuatu ke sakuku dan mencium keningku sebelum pergi.

“Daaag, Syan jaga diri baik-baik, ya sayang, nanti Ayah akan datang ke kostmu kalau ada waktu.”Ayah melambaikan tangannya sementara aku masih terpaku di tempatku. Menatapnya sampai mobilnya menghilang dari pandanganku. Kurogoh sakuku, sebuah amplop putih berisi sepuluh lembar seratus ribuan. Ini adalah uang pertama yang diberikan ayah padaku. Kumasukkan kembali uang itu dan aku segera bergegas pulang. Aku tak sabar ingin segera menulis email menceritakan pertemuanku dengan ayahku pada sahabatku Ra.

Tapi tak ada balasan dari Ra. Biasanya email yang kutulis malam, paginya sudah dibalas. Kucoba sms tak juga ada balasan. Teleponnya tidak aktif. Aneh, aku pun mulai gelisah, takut terjadi apa-apa dengan Ra.

Entah sudah berapa hari aku tidak masuk kerja. Kupaksa langkah kakiku masuk pelataran kantor. Melewati resepsionis yang menyapaku ramah, naik ke lantai dua. Kudapati Udin yang tengah asyik dengan disainnya di photosopnya. Dia sama sekali tidak terganggu dengan kedatanganku. Aku segera duduk dan diam di meja kerjaku.

“ Lo, udah sembuh, Syan?” Tanyanya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku jadi ingat beberapa hari yang lalu ketika aku mengalami hal aneh dan ternyata aku pingsan selama dua hari dan kudapati diriku terkapar di rumah sakit dengan infus di tanganku. Lalu apa yang terjadi dengan Pak Edward? Kenapa ia ingin membunuhku? Ada apa sebenarnya dengan semua ini?

“Kok, ditanya bengong?” Ulang Udin.

“Eh. Iya ud, aku udah baik, kok. Oh ya, Ud. Bagaimana dengan komikku?”

“Beres, Syan. Semua udah gue atur.” Aku tahu jika aku tidak masuk, Udinlah yang mengatur komikku untuk dimuat. Biasanya, ilustrasi komik sudah aku stok selama sebulan dan kusimpan di folder. Udin juga yang menggantikan tugasku sebagai ilustrator karena selain aku, hanya dia yang bisa menggambar. Aku tak tahu apa yang akan aku kerjakan. Semua komik sudah aku stok selama sebulan. Hanya menunggu order ilustrasi dari wartawan yang tidak mendapat foto.

“Syan, tolong buatkan illustrasi tentang kronologis pembunuhan, ini.” kata Pak Edward sambil menyerahkan naskah untuk kubuat illustrasi. Aneh? Kenapa Pak Edward begitu tenangnya menghadapiku bukankah beberapa hari yang lalu ia hampir membunuhku.oh, Tuhan jangan-jangan apa yang ku alami itu mungkin hanya halusinasi.kalau itu hanya hanya halusinasi kenapa ada bekas infuse di tanganku.ku kerjakan saja order dari Pak Edward dan kucoba untuk tidak berpikir macam-macam.sedangakan Pak Edward segera pergi dan masuk ke ruangan Pak Candra pimpinan perusahaan Koran ini.belum sempat kukerjakan order dari pak Edward.sayup-sayup kudengar percakapan dari ruang Pak Candra.

“Anak itu aneh. Pak dia tahu apa yang akan terjadi.Bapak tahu tentang rumah tanggaku. Kisahku sama persis dengan komik Poligami yang ia buat.aku tidak ingin nasibku di tentukan dari goresan-goresan penanya.”

“Ah, pak. Mungkin itu hanya kebetulan saja.”

“ Nggak pak ini sudah beberapa kali terjadi.bapak ingat kasus kekerasan rumah tangga yang menimpa lia. Cerita dalam komik syan sama persis dengan cerita rumah tangga Lia. Satu lagi Pak kasus kehilangan motor yang terjadi pada wartawan itu sama juga dengan cerita komiknya.”

“Ini justru bagus pak Edward, berarti anak ini memiliki indra keenam atau weruh sadhurunge winarah, dalam bahasa jawa yang artinya tahu sebelum peristiwa itu terjadi.”

“Tapi bagaimana kalau tokoh dalam komiknya dibuat mati dan itu terjadi juga pada orang di kantor ini.”

“Aku tidak tahu? Tapi mudah-mudahan itu tidak akan terjadi.”Pak Edward dan Pak Candra keluar dari ruangan itu kemudian turun kebawah.

benarkah aku dilahirkan dari cinta? Atau mungkin aku hanya dilahirkan dari nafsu birahi mereka. Hingga Tuhan menurunkan kutukanNya yang sampai sekarang masih aku rasakan.

Bab 4

Hubungan Gelap

Handphoneku berbunyi, sebuah SMS.

“Syan, jam lima bisa kau temui aku di Mal Taman Anggrek.” Diam-diam aku sering bertemu ayahku tanpa sepengetahuan istri dan anak-anaknya. Tak jarang aku sering terluka jika Ayah menerima telepon dari istri dan anak-anaknya untuk segera pulang. Sepertinya keluarga mereka sangat harmonis.

Lain sekali dengan yang aku dan Ibu alami. Ibu harus menderita tanpa Ayah di sampingnya. Mungkin semua penderitaan Ibu juga karena dosa ibu di masa lalu. Bagaimana ibu bisa berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Dan kenapa ayah juga mau kalau ayah juga sudah mempunyai istri. Lalu siapa sebenarnya yang memulai dulu? Mungkin memang mereka saling mencinta hanya saja ibu telat datang pada ayah. Lalu, apakah dibenarkan mencintai laki-laki yang sudah beristri? Apakah itu justru malah merusak rumah tangga orang. Tapi kenapa ibu lakukan itu, kenapa ibu tetap mencintai ayah bukan laki-laki yang lain? Mungkin cinta memang buta, mungkin cinta tidak memandang apakah o-rang itu telah berdua atau masih sendiri. Seperti yang pernah dikatakan banyak orang bahwa cinta memang tidak bisa dijelaskan dengan akal. Karena dalam cinta, perasaanlah yang lebih berperan. Lalu apakah kita tidak bisa mencintai satu orang saja, saling setia dan tiada menyakiti. Kenapa Tuhan menciptakan misteri cinta yang rumit, yang tak bisa aku pahami. Lalu benarkah aku dilahirkan dari cinta? Atau mungkin aku hanya dilahirkan dari nafsu birahi mereka. Hingga Tuhan menurunkan kutukanNya yang sampai sekarang masih aku rasakan. Tapi kenapa aku yang menjadi korban? Kejadian ini mengajarkan aku satu hal. Satu saat jika aku beristri, aku takkan mendua. Aku tidak ingin anak yang lahir dariku akan menderita seperti aku.

“Syan, udah lama…” Suara seseorang mengagetkanku.

“E...eh, Ayah.”

“Maafkan Ayah, Ayah terlambat. Tadi anakku yang pa-ling kecil mau ikut. Aku tidak ingin pertemuan kita diketahui oleh mereka. Biarlah untuk sementara ini menjadi rahasia antara kita.” Aku hanya diam, mungkin juga sakit. Karena setiap bertemu ayah ia selalu menceritakan tentang keluarganya. Apakah dia tidak berpikir bahwa itu bisa melukai aku.

“Syan, bagaimana dengan ibumu, apakah sudah ada yang mendampinginya?” aku selalu ingin menangis bila kuingat ibu. Ibu sudah banyak menderita. Aku sendiri tak bisa masuk ke dalam kehidupan pribadi ibu. Ibu selalu menyimpannya sendiri. Tak pernah sekalipun mau membaginya denganku. Sekilas bayangan ibu melintas dalam benakku. Bu, Syan sudah menemukan Ayah, bisikku dalam hati. Syan ingin bawa Ayah pulang bersama kita, Bu. Syan ingin Ayah selalu ada di dekat kita, melindungi kita dan kita tidak akan takut lagi. Ibu, ini Ayah….tak terasa butiran bening merembes dari mataku.

“Syan, kau menangis.” Ucap ayah sambil mengusap air bening dari pipiku.

“Ibu tak pernah mencari pengganti Ayah…Ibu selalu sendiri menyimpan semua bebannya.” Ayah hanya diam. Aku tahu ada luka dan penyesalan yang bisa aku lihat dari kerutan keningnya.

“Syan, kalau aku bisa, aku juga ingin kembali pada ibumu. Menyayangimu…melindungi kalian, tapi…apakah itu mungkin. Seandainya aku bisa menjadi dua, Syan..”

“Ayah tolong jawab. Kenapa kau tiupkan nafasku ke dunia jika aku tak pernah merasakan kebahagiaan bersamamu. Kenapa aku harus lahir jika kau meninggalkanku, meninggalkan ibu. Kenapa? Ayo jawab ‘Yah”

“Sekitar dua puluh tahun yang lalu, aku sudah berkeluarga dan ibumu datang saat ayah terluka oleh hidup. Saat Ayah ingin melabuhkan semua kekesalan hidup Ayah. Yang tidak bisa kulabuhkan pada istriku. Dan ibumulah satu-satunya orang yang yang mampu pahami Ayah. Sampai akhirnya diam-diam kami menjalin hubungan, kami saling menjaga rahasia agar tidak diketahui orang kantor. Apalagi diketahui oleh istriku. Entahlah, selain istriku, hanya ibumu yang mampu menyentuh jiwa Ayah. Entah bagaimana awalnya kami saling mengagumi. Syan, satu saat kau juga akan pahami betapa misteriusnya cinta itu. Tidak mudah dimengerti dan kau juga harus pahami bahwa semua yang terjadi sesungguhnya bukan yang kami mau. Semua sudah atas kehendak-Nya…”

“Bukan, ini bukan atas kehendak-Nya. Tuhan tidak pernah menghendaki umatNya punya simpanan, Tuhan tidak pernah menghendaki umatNya untuk selingkuh.”

“Cukup Syan. Kau belum cukup mengerti dalam hal ini.”

“Lalu apakah Ayah juga mengerti penderitaan kami? Asal Ayah tahu, sejak lahir aku aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Sepanjang hidupku aku harus menanggung malu karena aku tidak memiliki ayah. Asal ayah tahu, betapa sakitnya ketika aku mendengar kata anak haram di telingaku. Apakah ayah juga bisa rasakan betapa ibu harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan aku? Apakah Ayah juga bisa rasakan betapa kesepiannya Ibu? Apakah Ayah bisa rasakan betapa sedihnya aku tumbuh tanpa ayah?”Ayah hanya diam. Ada gores penyesalan, mungkin kesedihan di matanya. Diam dan hanya diam.

Aku jadi menyesal mengucapkanya. Dulu aku pernah berharap jika aku bertemu ayahku aku takkan menyakitinya. Aku akan menyayanginya. Tapi kadang manusia butuh rasa sakit untuk menyentuh bagian dalam dari dirinya. Untuk membuatnya terjaga dari mimpinya. Tapi mimpi ayah sudah begitu sempurna dan tak seharusnya aku mengusiknya. Lalu, apakah aku harus menyerah untuk memiliki Ayah dan membawanya ke pelukan Ibu? Tapi kenapa hati ini tak jua mau menerima bahwa ayah sudah punya keluarga dan tidak mungkin bersama kami. Kenapa hati ini selalu berharap? Oh, Tuhan, buanglah rasa berharap ini dari hatiku.

Entah sudah berapa lama Ayah hanya diam. Rasanya aku ingin memeluknya dan mengucapkan satu kata, maafkan aku. Tapi aku sendiri tak kuasa. Kami sama-sama terdiam. Sepi, hening. Mungkin hanya hati kami yang saling bicara.

“Syan, rasanya berat mengatakan ini padamu. Jujur, aku senang bertemu denganmu. Aku senang mendengar kabar ibumu dan aku senang mendapatkan titik terang tentang keberadaan ibumu. Tapi aku tidak yakin…”Ayah tidak meneruskan ucapanya, ia menatapku, meyakinkanku bahwa aku siap mendengarnya.

“Aku tidak yakin kau anakku..” katanya pelan. Meski pelan ucapan itu seperti menghentikan denyut nadiku. Tubuhku tiba-tiba lemah, rasa sesak kembali memenuhi dadaku. Kutegarkan diriku dan kucoba untuk tenang.

“Semua itu harus dibuktikan melalui tes darah. Waktu itu ibumu bercinta dengan banyak orang.”

“Maksudnya, ibuku..?”

“Ya, seperti yang kau duga.” Aku terdiam sekali lagi aku terluka oleh ucapannya.

“Baiklah, kita buktikan dulu kebenarannya baru kau bisa panggil aku Ayah.” Katanya sebelum meninggalkan aku begitu saja. Aku masih terduduk lemah di fast food tempat kami bertemu. Dari kaca bisa kulihat jelas hujan turun lebat. Jalanan padat oleh mobil. Angin menderu menyapu seperti akan memporak-porandakan segala yang ada di depannya. Sesekali terlihat kilatan petir. Hujan lebat. Seperti hujan badai dalam hatiku. Kukuatkan hatiku… kubisikkan bebanku pada Tuhan berharap hujan di hatiku akan berhenti dan berganti mentari yang kan hadirkan pelangi. Aku segera bangkit keluar dari fast food ke warnet yang ada di mal itu untuk mengecek e-mail. Sebuah e-mail dari Ra menarikku untuk membacanya.

Syan,

Maafkan aku..aku lagi pasang aksi diam. Bukan hanya padamu tapi pada semua orang. Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja,kan?

Ra.

Kuceritakan pertemuanku dengan Ayahku pada Ra. Kuceritakan semuanya pada Ra, meski kadang Ra juga tidak peduli padaku. Hari-hari kujalani dengan kehampaan. Harapanku sudah pupus. Janjiku pada Ibu untuk membawa Ayah pulang tak bisa kuwujudkan. Meski sebenarnya ibu tidak akan kecewa. Ah, sebaiknya aku pulang saja menjaga ibuku dan melupakan Ayah yang tak pernah bisa aku miliki.

Ra,

Mungkin kita tidak akan pernah bisa ketemu. Aku akan putuskan untuk pulang kampumg saja. Menjaga ibuku. Mungkin benar dia bukan Ayahku. Kalaupun benar aku pun tak pantas untuk memilikinya. Aku hanya anak dari hubungan yang tidak resmi. Biarlah kulupakan saja semuanya mungkin sudah garis Tuhan. Di tempat kerja pun aku juga sudah tidak nyaman. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan. Maafkan jika aku sudah berbuat salah padamu.

Syan.

Dan inilah e-mail balasan darinya.

Syan,

Kuhargai keputusanmu. Tapi kau laki-laki kau ga boleh cengeng. Ingat kelak kaupun akan hidup sendiri. Memang baik menjaga orang tua. Tapi kau juga harus belajar hidup sendiri. Dengan atau tanpa orang tua itu tidak penting. Saranku Jangan terlalu terikat pada seseorang. Siapa pun orang itu dan jangan berharap untuk tinggal bersama Ayahmu untuk selamanya agar nantinya kau tidak kecewa, kau harus bisa menerima kenyataan dan kau harus buktikan bahwa tanpa ayahmu kaupun juga bisa berhasil. Aku yakin kau bisa. Lakukan yang terbaik untuk dirimu sendiri, kalau bukan untuk dirimu untuk orang-orang yang pernah baik padamu. Jangan putus asa aku akan selalu mendampingimu.

Ra.

Kucoba renungi apa yang ditulis Ra dalam e-mailnya. Ada benarnya juga. Dulu tak ada yang lebih penting bagi diriku dari pada menemukan keluargaku utuh dan menemukan jawaban tentang masa laluku namun setelah membaca e-mail Ra, aku sadar bahwa aku harus menapakkan langkahku sendiri. Akupun harus belajar untuk merasa puas dengan kenyataan. Bahwa mungkin tidak semua keinginanku menjadi nyata. Aku harus berhasil. Aku harus buktikan pada orang-orang bahwa anak haram ini juga bisa berhasil.

Tiba-tiba semangat yang disuntikkan Ra merasuk dalam tubuhku dan mengalir dalam darahku menjadi energi yang membuatku merasa lebih baik. Kuyakinkan diriku bahwa esok aku siap menghadapi semuanya. Sekalipun hal terburuk yang akan terjadi. Toh sepanjang hidupku aku kerap kali harus terluka dan harus menghadapi kenyataan-kenyataan pahit kenapa tidak sekalian maju saja. Toh luka yang melampaui batas rasa sakit justru tidak akan terasa sakit. Tapi bagaimana dengan ibu, siapa yang akan menjaganya? Aku percaya ibu adalah perempuan yang kuat. Dan aku yakin dia pasti mendoakan aku dari sana.



KOMENTAR MEREKA

-saya yakin inilah novel yang ditulis dengan airmata ,dengan tangan yang bergetar ,detak jatung yang berdebar keberanian penulisnyalah yang membuat novel ini serasa mendapatkan arwah di dalamnya .karya baik dari sahabat terbaik saya.


[ laluh gigih arsanova –duta wisata ntb 2006,pemeran antagonis soccerboy ]


-anak adalah bukti adanya hidup,syan mungkin satu dari ribuan anak yang diabaikan orang tua buku ini bisa kita jadikan cerminan bagi para orang tua….untuk tidak melakukan tindakkan yang kita tidak siap menaggung resikonya ,berani berbuat berani bertanggung jawab.

[ratika ashari-teater populer]


kadang keinginan dan harapan adalah sebuah penderitaan …tapi keinginan dan harapan pula yang membuat seseorang tetap hidup dan bertahan

[ derry kesumah - freelance dop ,news dokumenter dan sineteron]


ndak ngerti saya ceritanya …tapi bagus…bagus…


[ bunda saadiah –make –up artis ]


- syan dalam kosakata jaid brennan bias berarti anak laki-laki juga bisa berarti pencarian jatidiri.antara jati diri dan anak laki –laki sangat bias maknanya di mata penulis yang penuh interpretasi , dan amat memukau sebuah pengalaman spiritual yang tercetus dalam monolog-monolog interior sang “aku”yang penuh dengan pengalaman –pengalaman mendebarkan melalaui visi tokoh syan .seorang anak manusia mencoba membuka misteri tabir jatidirinya lewat benturan –benturan nando sang ayah yang tidak mengakui kehadiranya ,juga lewat konflik tokoh pimpinan perusahaan tempat syan bekerja yang menganggap komik –komik ciptaan syan membawa bencana pada kelangsungan hidup penerbitanya ,di perparah lagi dengan “lingkungan “yang menganggap syan anak haram .dalam keputusanya menanggung dosa –dosa yang tak terampunkan syan berkolaborasi dengan ra ,tokoh dunia maya yang juga merupakan alter egonya. untuk minta perlindungan dari konflik –konflik bathin yang berkepanjangan serta melelahkan. namun fantasi demi fantasi yang bermunculan di arena otak syan yang saling “menggigit” dan” memangsa “ dalam kegamanganya lalu syan bersahabat dengan velony seorang gadis yang benar –benar nyata yang memberinya harapan untuk tetap survive namun tidak memberinya kata cinta.diantara harapan ,cinta ,kegetiran dan kepalsuan itulah eksitensi sejati yang di kejar oleh syan…


[Nurhadie irawan -sutradara film,layar lebar –sinetron dan ftv]


Komentar

Postingan Populer