......sepenggal tentang ....

"jika kau mempercayainya ,keajaiban itu ada Ia akan datang saat kita tidak berdaya...."

UNTUK MEREKA YANG TAK PERNAH TERSENTUH CINTA

Bab 5

Indera Keenam

Tak ada yang melebihi keasyikanku menggambar komik dan berpetualang dengan tokoh-tokoh dalam fantasiku. Kadang aku merasa tokoh itu adalah aku. Dan aku seperti masuk ke dunia lain di mana hanya aku yang mampu menyinggahinya. Di sini aku bisa menjadi apa saja. Aku bisa bermain-main dengan tokohku. Membunuh penjahat. Atau merasakan kepedihan orang yang teraniaya. Bahkan aku bisa menjungkirbalikkan keadaan karena di sini aku adalah penentu takdirnya. Kadang kenikmatan membuat komik bisa mengalahkan kenikmatan yang lain. Mungkin kau melihat aku duduk terdiam di mejaku. Tapi sesungguhnya itu hanya ragaku. Jiwaku melayang mengambil roh-roh jahat dan baik. Menjalinnya menjadi satu cerita. Aku melayang berpetualang, mengobrol dengan tokoh-tokohku tanpa satu orang pun yang tahu. Mereka hanya melihatku terpaku di meja kerjaku. Sampai lupa makan dan minum. Itu tidak berarti karena sesungguhnya jiwaku kenyang terpenuhi oleh kepuasan batin yang tidak bisa diungkapkan oleh kata.

“Syan, ditunggu Pak Candra di ruangannya.” suara Udin mengagetkanku, aku segera beranjak dari meja kerjaku menuju ruangan Pak Candra. Ada apa Pak Candra memanggilku? Ah mungkin karena beberapa hari aku tidak masuk. Kucoba tenangkan hatiku dan masuk ke ruangan pimpinan perusahaan itu.

“Permisi Pak, Bapak memanggil saya?”

“Iya! Duduklah, Syan…” Pak Candra menatapku sedemikian rupa seperti ada yang aneh dalam diriku.

“Syan, aku mau mengajakmu makan siang.” Makan siang? Hah, apa aku tidak salah dengar. Aneh saja Pak Candra mengajakku makan siang.

“Sekarang ikut aku ke Gajah Mada Plaza. Kamu gambar stand untuk pameran di sana. Setelah itu kita makan siang ke Hanamasa.” Aku menuruti saja apa yang dikatakan Pak Candra. Siang itu aku bersamanya ke Gajah Mada Plaza. Tumben-tumbennya ia mengajakku makan siang. Kami duduk berhadapan. Mata Pak Candra tak henti-hentinya menatapku. Aku jadi bingung, gila kali nih, orang…

“Syan, saya mau tanya? Kamu tahu apa yang terjadi di kantor ini?” Tanyanya. Aku tak mengerti apa yang ditanyakannya.

“Saya tak tahu, Pak. Saya hanya mengerjakan tugas saya. Selesai itu saja.” Ia kembali menatapku. Wajahnya dingin tanpa emosi.

“Syan, menurutmu bagaimana harian Skandal ke depannya?

“Maksud Bapak?” Aku semakin tidak mengerti alur pembicaraan Pak Candra.

“Menurutmu, apakah perusahaan kita ini bisa maju atau tidak?”

“Maaf, Pak, kok Bapak tanya soal itu ke saya?” Aku balik tanya. Pak Candra sedikit bingung.

“Ee..begini, Syan. Bapak dengar kamu memiliki indra keenam.”

“Waduh, Pak. Indra keenam? Siapa yang bilang, Pak? Kalau saya punya indra keenam lebih baik saya jadi dukun aja. Haha…” candaku.

“Syan, ini serius.” Ucapnya sambil menatapku.

“Baiklah, Pak. Apa yang membuat Bapak yakin aku memiliki indra keenam?”

“Komikmu…”

“Komik? Kenapa dengan komikku?”

“Syan kau tahu dari mana kehidupan pribadi Pak Edward.”

“Saya semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini, Pak. Aku tak pernah mencampuri urusan pribadi orang…” tanpa mempedulikan jawabanku, Pak Candra terus melancarkan pertanyaan.

“Dari mana kau tahu penderitaan Mbak Lia saat terjadi KDRT di rumah tangganya? Dan bagaimana kau tahu wartawan itu akan kehilangan motor…?” Kata Pak Candra serius.

“Saya tidak tahu, Pak. Bahkan saya tidak tahu soal kehidupan mereka. Saya sendiri sudah banyak masalah. Saya ga ingin menambah masalah dengan mencampuri urusan orang.” Jawabku jujur.

“Tapi komikmu menceritakan tentang kejadian kehidupan orang-orang di kantor.”

“Maaf, Pak. Kurasa itu hanya kebetulan. Selain itu, komik harus melalui proses pengeditan jauh jauh hari sebelum dimuat. Jadi, saat kejadian dan yang bersamaan dengan dimuatnya komik saya itu hanya kebetulan saja”

“Kau bilang itu kebetulan tapi ini terjadi berulang kali.”

“Saya tak tahu lagi harus bilang apa. Yang saya katakan ini benar…”

Lalu cerita apa lagi yang akan kau buat?”

“Saya tak tahu, Pak. Saya belum dapat ide lagi.” Yah, aku mau bikin cerita. Apa lagi komikku sudah hampir berakhir. Aku harus menyambungnya. Kolom komik itu harus tetap ada meski banyak orang yang menentangnya. Karena kolom komik itu adalah tempat bermainnya jiwaku. Tempat aku menumpahkan keluh kesahku. Meskipun ada batasan-batasan yang harus aku taati tapi itu tidak menghalangiku untuk menyampaikan ketulusan dan kejujuran hatiku. Karena kalau tidak dengan itu dengan apalagi.

Aku sudah asyik dengan komikku, kubiarkan kertas-kertas berserakan di kamar, kubiarkan jiwa bicara, kubiarkan hasrat terbuka, kulepaskan semua resah. Kutuangkan dalam goresan tinta hitam dengan jalinan cerita kebahagiaan, maupun cerita yang sedu sedan. Mungkin hanya dengan ini caraku untuk mengungkapkan semua isi hatiku. Yah mungkin lembaran hidupku akan selalu jadi cerita. Hitam putih terjalin berpadu menjadi rangkaian kata yang indah yang kan menerbangkan hati setiap orang yang membacanya.

Aku bukan pujangga, aku bukan penyair, aku hanya lahir untuk meneriakkan kegelisahan hatiku, meneriakkan kejujuran. Meski mungkin kejujuran itu pahit. Meski mungkin tak ada yang peduli dengan jeritan hati ini. Meski mungkin segalanya tak berarti tetap kuteriakkan kege-lisahanku pada dunia.

Aku ingin menjadi bintang yang sinarnya akan membawa damai dan menerangi jiwa yang gelisah. Meski kini hidupku hancur berkeping dan kepingannya tak lagi bisa disatukan. Namun, lembaran hidupku kan selalu jadi cerita. Meneruskan cerita tentang KDRT tentang sakitnya seorang istri yang diduakan suaminya dan di sini aku ingin suaminya menanggung dosa atas perbuatanya. Di sini aku ingin ceritakan bahwa apa yang ditanam dan itulah yang dituai.

Jika kau tanya apakah cerita ini ada hubungannya dengan ibu dan ayah, jawabannya bisa iya, bisa tidak. Mungkin itu mempengaruhiku. Tapi ini bukan cerita tentang mereka. Aku hanya ingin mengatakan pada dunia bahwa selingkuh itu menyakiti banyak orang. Menyakiti istri dan anak-anak mereka.

Aku terbawa emosi, masuk ke dalam cerita yang kubuat, terbayang ibu…yang sepanjang sisa hidupnya harus kesepian. Terbayang ayah yang bahagia dengan keluarganya dan terbayang kontrasnya kondisi anak-anak dari istri pertama dan kedua.

Ah, kurasa aku menceritakan tentang diriku sendiri… kurasa ceritaku mulai dipengaruhi dengan masalah yang aku hadapi. Biarlah kubiarkan jiwa ini mengalir menggoreskan perihnya kisah hidupku. Biar dunia tahu…biar kisah seperti ini takkan terjadi pada yang lain, biar hanya aku yang menanggung sendiri karena aku dilahirkan hanya untuk merasakan sakit.

Aku mulai melayang terbang melintasi dunia imajinasi yang tak terbatas ruang dan waktu. Berpetualang dan asyik dengan pikiran dan khayal. Melintasi kebahagiaan dan penderitaan. Membuat kejahatan, memerangi kejahatan. Menebarkan kebaikan, memunculkan pahlawan, malaikat, bidadari, dan tak selalu mengakhirinya dengan indah. Karena sesungguhnya hidup tak selalu berakhir indah.

Tak jarang kesedihan hanya akan menjadi kesedihan. Terkadang pertanyaan tak selalu harus terjawab. Dan kadang kegelisahan tetap menjadi sesak yang menyiksa. Dan hidup juga harus merelakan. Menerima juga tabah. Mungkin hanya itulah yang membuat jiwa kita semakin kuat untuk menerima segalanya. Hanya penerimaan, berserah pada Tuhan yang membuat hidup lebih tenang.

Begitu juga dengan aku harus bisa menerima dan merelakan apa yang terjadi dengan hidupku. Merelakan ayah bersama keluarganya dan membiarkannya bahagia dengan caranya sendiri. Mungkin dengan begitu aku juga bisa lebih tenang.

“Pak Candra kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit Tarakan” seru Udin pada teman-teman wartawan yang tengah sibuk dengan pekerjaanya. Seketika suasana menjadi riuh. Pak Edward datang menenangkan mereka.

“Sudah, kalian kerjakan tugas kalian. Biar aku dan Pak Madi yang ke rumah sakit. Nanti kalau pekerjaan kalian sudah selesai kalian boleh menyusul.”

Baru saja aku akan kembali mengerjakan tugasku, suara Niken mengagetkanku.

“Syan ditunggu Pak Teguh di ruangannya,” aduh, ada apalagi ini? Aku segera beranjak dan menuju ke ruangan Pak Teguh PEMRED harian Skandal itu. Pak Teguh sudah menungguku dengan wajah merah seperti menahan emosi. Aku tak berani menatap wajahnya. Tanpa disuruh aku segera duduk menunggu apa yang akan disampaikannya padaku.

“Syan, kau tahu kejadian yang baru saja menimpa Pak Candra.”

“Iya, Pak!”

“Kau harus mengganti cerita komikmu!”

“Tapi, Pak, komik itu sudah mengalami proses pengeditan dan sekarang sudah tiga belas halaman yang dimuat. Saya takut kalau ceritanya diganti jadi ga nyambung. Bukan itu saja, Pak, ga gampang membuat komik secepat itu…”

“Syan, apa kau sengaja akan mencelakakan Pak Candra?”

Kutatap wajah Pak teguh, aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.

“Mencelakakan Pak Candra? Maksud Bapak?”

“Kau sudah mencelakakan orang-orang di kantor ini dengan komikmu.”

Aku diam tak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Kenapa orang-orang selalu mengaitkan kenyataan yang terjadi dengan cerita komikku. Bukankah mereka itu orang-orang yang cukup berpendidikan. Tapi mengapa mereka masih percaya dengan hal-hal semacam itu.

“Kalau kau tidak mau mengganti cerita komikmu, kami atas nama perusahaan ini akan mengambil sikap tegas. Mungkin memecatmu.”

“Silakan saja Pak, tapi Bapak tidak ada alasan untuk memecat saya.” Kataku lantang. Entah energi dari mana yang merasuk dalam jiwaku. Yang pasti tak sedikit pun aku merasa takut. Pak Teguh hanya diam.

“Maaf Pak, Saya harus kembali kerja.” Dia tetap diam Wajahnya dingin tak menunjukkan perasaan. Tanpa diminta, aku segera meninggalkan ruangannya dan kembali ke meja kerjaku.

Aku tahu Pak Teguh punya pengaruh besar di perusahaan ini. Semua orang takut dan berusaha menjilat padanya tapi aku tidak. Bisa saja dia menganggap aku tidak bisa bekerja dan memecatku. Aku tak peduli. Lalu kalau aku benar-benar tidak kerja, siapa yang peduli denganku di Jakarta ini. Mungkin aku akan cari Ra untuk menampungku. Lalu Ra itu siapa?

Tidak, aku tidak boleh merepotkan orang. Jujur, aku bingung juga. Tapi untuk menjilat, aku tidak bisa lakukan kepada siapapun, termasuk kepada Pak Teguh. Mungkin sekarang aku harus siap-siap untuk mencari kemungkinan lain.

“Syan bengong aja.” Suara Velony, cewek tomboy bagian IT mengagetkanku.

“Komputernya beres?” Tanyanya.

“Keybordnya nih ‘Ve suka ga fungsi.”

“Ya udah, ntar minta ganti aja yang baru. Lagian keyboard yang lu pake itu keyboard lama ko’?”

Velony menatapku, aku bisa membacanya. Dia datang ke mejaku bukan untuk menanyakan komputer tapi seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakannya padaku.

“Syan, entar makan siang bareng, ya…”

“Mau ngomong apa sih,ve? Ga perlu entar makan siang, sekarang aja.” Aku tidak sabar ingin tahu apa yang akan disampaikannya padaku.

“Lu, emang paranormal, Syan. Lu tahu maksud gue ke sini. E…gini..ee”

“Onta, lu ah. Cepetan.”

“Ngomongnya ga bisa disini, Syan. Ntar makan siang aja.” Katanya serius.

“Ya udah.”

Istirahat siang, aku dan Velony sudah mojok di mie ayam bangka. Di DPR (di bawah pohon rindang, maksudnya).

“Gini, nih Syan…” Velony memulai ceritanya serius.

“Sebaiknya lu cari pekerjaan dari sekarang…kemaren gue benerin komputer di ruangan Pak teguh. Pak Teguh lagi ngobrolin lu sama pak Edward. Kemungkinan lo akan dipecat. Mereka lagi nyari alasan untuk bisa memecat elu.” Katanya serius. Dan aku tak kaget lagi mendengarnya. Aku sudah menduganya.

“Syan, saran gue, kalau lu masih pengen bareng-bareng kita di sini, lu baik-baikin Pak Teguh atau Pak Edward.”

“Gue ga bisa seperti itu, Ve”

“Ya udah, lu minta aja pada Tuhan.”

“Itu pasti, Ve”

“Kok lu masih tenang aja sih, Syan?”

“Terus mo gimana lagi, Ve. Sedih? Nangis-nangis gitu? He..he..” candaku.

“ Oh ya, Syan. Katanya juga, lu ditanyain ke paranormal.”

“Apa maksudnya, Ve? Mereka nanyain tentang gue ke paranormal? Kaya’ orang kurang kerjaan aja…hari gini masih percaya paranormal .”

“Komik-lu, Syan. Katanya narasi komik yang elu buat selalu mirip dengan apa yang dialami orang-orang di kantor.”

“Ah, itu sih kebetulan aja, Ve .”

“Nggak, Syan. Itu bener-bener terjadi. Elu tahu ga, lu itu orang yang istimewa. Cuma elu-nya aja yang ga nyadar. Biasanya emang gitu, Syan. Orang yang punya kelebihan kerap kali ga tahu bahwa dia itu punya kelebihan.”

“Ah. Lu tuh. Bisa aja,gue ga ada recehan nih, Ve. Hehehe..”

“Sialan, onta lu..” Velony menendang kakiku. Kami tertawa-tawa seperti tidak ada beban.

“Serius, Syan. Paranormal itu bilang, hanya orang yang polos jujur dan memiliki hati yang bersih yang bisa melihat sesuatu yang belum terjadi dan itu ada di elu kan?”

“Gila aja lu, Ve. Gue jujur? Gue punya hati bersih? Gue ngutang beberapa kali ke elu ga bayar punya hati bersih? Kalo polos mungkin iya, imut maksudnya..hihi… Aduh, Ve mana ada sih manusia yang benar-benar punya hati bersih.”

“Bukan itu maksudnya, Syan. Elu itu istimewa.”

“Istimewa apanya sih, Ve? Udahlah cape ngebahas komik. Jujur, gue kadang juga ngerasa aneh. Gimana komik gue bisa mirip sama kejadian di alam nyata. Sebenernya gue juga ga pingin kejadiannya kaya gini. Gue juga ga ingin komik yang gue buat jadi merepotkan orang.”

“Itulah Syan. Kabarnya paranormal itu sedang berusaha mempengaruhi jiwa lu untuk melakukan dosa besar. Karena hanya itu yang bisa melepaskan malaikat yang merasuk ke dalam jiwa-lu.”

Oh, malaikat..ya. Makhluk aneh itu? Mungkin benar apa yang dikatakan Velony. Malaikat itu. Aku benar-benar menemuinya meskipun hanya mimpi saat pingsan, tapi kejadian itu seperti nyata. Jika itu benar aku harus hati-hati dengan orang-orang di kantor. Aku.. aku harus bisa membaca keadaan.

“Oh ya Syan, tadi Pak Teguh bilang selesai istirahat lu diminta untuk menghadap lagi.”

“Gue capek, Ve. Ada apa lagi sih?”

Velony diam. Ia bisa merasakan yang aku rasakan.

“Lu, ngadep aja. Kalo ditanya nurut aja. Iya, iya aja. Dari pada lu nantinya kena masalah.”

Dengan lesu kulangkahkan kakiku kembali ke kantor. Dan kuyakinkan hatiku untuk menyelesaikan masalahku. Aku kembali masuk ke ruangan Pak Teguh.

“Silakan duduk” kata Pak Teguh saat melihatku. Kulihat wajahnya masih tersimpan emosi yang siap di tumpahkanya padaku.

“Syan, kamu tahu kalau kamu dalam masalah besar.”

“Saya tidak merasa membuat masalah. Pekerjaan saya selalu saya selesaikan jauh sebelum waktunya.” Kataku pelan tapi pasti.

“Saya minta kamu mengganti cerita ini…pada bagian ini.”

Pak Teguh menunjukkan naskah komik hasil kopian yang aku buat. Kulihat bagian yang ditunjukkan Pak Teguh padaku. Pada bagian itu bercerita tentang seorang suami yang kena karma karena telah melakukan kekerasan pada istrinya. Pada bagian itu sang suami lemah terkapar di rumah sakit. Sama kejadiannya dengan apa yang terjadi pada Pak Candra pimpinan perusahaan ini. Komik itu bercerita bahwa akhirnya sang suami harus meninggal. Itulah yang mungkin ditakutkan Pak Teguh. Mungkin juga ditakutkan semua orang yang ada di kantor itu.

“Kenapa mesti diganti, Pak? Ini kan sudah diedit.”

“Syan, saya mohon. Hanya kamu yang bisa merubah takdir Pak Candra.” Tuturnya berusaha dilembutkan.

“Pak, saya bukan Tuhan. Saya tak bisa merubah takdir siapapun.”

“Baiklah, saya ingin kamu mengubah komikmu bukan karena apa yang dihadapi Pak Candra saat ini. Saya ingin kamu merubah karena cerita yang kamu buat itu sesungguhnya tak layak. Dan kau harus sadar itu.” katanya dengan emosi.

Tiba-tiba suara Ra yang pernah kudengar lewat handphone terngiang di telingaku.

“Syan, kalau ada masalah lebih baik, diam.” Jika direnungi, ucapan singkat itu ada benarnya. Mungkin dengan diam segala emosi akan terendap dan mungkin dengan diam kita mampu menyadari kesalahan kita. Tapi aku masih muda dan tergesa gesa. Lagi pula, dalam keadaan begini bagaimana bisa diam. Kucoba turuti apa yang pernah dikatakan Ra padaku. Sejenak aku diam untuk mengendapkan emosi di dada.

“Baiklah, Pak. Besok saya coba untuk merubah ceritanya tapi saya ga janji.”

“Baiklah. Kamu sekarang sedang mengerjakan apa? Kalau tidak ada kerjaan lebih baik kau ubah sekarang saja di sini, di ruanganku.”

“Saya ga bisa kerja kalau ditungguin, Pak.”

“Baiklah, saya pergi.”

Akhirnya kuubah juga tulisanku yang katanya bisa mengubah takdir itu. Mudah-mudahan ini juga bisa mengubah suasana di kantor menjadi lebih baik.

Anehnya, setelah cerita itu tamat, kondisi kesehatan Pak Candra pun membaik. Sejak saat itu aku dianggap sebagai anak ajaib. Aku sih tertawa aja karena aku tidak merasa begitu. Anehnya juga semua teman di kantor mendadak jadi lebih baik padaku.

Syan, aku memang berhubungan dengan Ibumu, tapi aku tak yakin kau adalah anakku. Dulu ibumu juga berhubungan dengan…

Bab 6

Statusku

Sampai satu malam kami menyelesaikan deadline dari redaktur. Teman wartawan membawa mobil kantor untuk refreshing. Tadinya aku tidak mau ikut karena aku bukan tipe orang yang senang hura-hura. Rame-rame. Aku lebih suka diam di kamar, kalau pun suntuk aku lebih suka jalan sendiri. Tapi karena hubunganku di tempat kerja baru saja membaik, akupun juga tidak ingin mengecewakan mereka. Yah sesekalilah, mengikuti cara hidup mereka.

Aku tidak tahu ke mana tujuan mereka, aku ikut saja. Sampai mobil itu berhenti di parkiran sebuah bar. Baru kali itu aku menginjakkan kakiku ke bar. Suasana remang-remang dan live musik tidak menenangkan hatiku. Justru aku tiba-tiba menjadi gelisah dan seandainya bisa, aku ingin pulang saja. Tapi aku juga harus bisa menghargai mereka. Aku tidak ingin dikucilkan lagi.Beberapa redaktur tampak dengan cueknya bersama cewek. Sementara para wartawan mulai memesan minuman. Kami berkumpul di satu table dengan angka 13. Angka sial batinku. Mau tidak mau semua yang ada di situ harus minum. Oh, Tuhan tamatlah aku.

Entah sudah berapa gelas bir yang kutenggak. Kurasakan tubuhku mulai hangat, pandanganku memudar dan lang-kahku mulai ringan seperti setengah menapak bumi. Mulut-ku selalu ingin menggumamkan semua yang mengendap di dadaku. Keluar menjadi racauan. Sampai orang-orang di sekitarku menertawakanku. Aku tak peduli, aku terus meracau. Mengucap sumpah serapah. Dan tertawa, tertawa dan tertawa. Saat itu aku seperti di atas angin, di sini tak ada lagi redaktur. Tak ada lagi redpel. Semuanya bisa aku maki. Aku sudah melewati batas kesadaran, terbang melayang dan terkapar di lembah mimpi yang terkelam.

Kejadian itu berulang sampai tiga malam, hingga saat malam ketiga. Hatiku terasa kosong. Seperti ada yang menghujamkan belati ke hatiku. Perasaan hampa menyergapku dan saat itu ingin sekali aku lari dari mereka dan pergi. Aku berjanji pada diriku, malam itu adalah malam terakhir aku ikut bersama mereka. Kuceritakan pengalaman itu pada Ra. Karena hanya dia yang mampu mengerti hitam putih hidupku. Dan kukatakan juga aku ingin bertemu dengannya. Dan inilah balasan email darinya.

Syan,

Untuk sementara ini biarlah kita bercerita melalui sarana email atau chating. Mungkin hanya itu yang bisa kita lakukan saat ini, toh nanti pada waktunya jika Tuhan berkehendak mungkin kita bisa dipertemukan, tapi entah itu kapan.Aku berharap semuanya menjadi lebih baik setelah proses saling kenal lebih dekat lagi.

Syan,

Kamu masih muda, langkah kamu masih panjang. Saya hanya bisa berdoa semoga apa yang menjadi keinginan kamu dapat terwujud entah dalam bentuk materi jasmani maupun rohani. Untuk itu cobalah kamu kenali dirimu sendiri untuk langkah kamu selanjutnya, sebelum datang penyesalan di kemudian hari. Karena aku tidak mau kamu menjadi terlena oleh apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu lakukan atas dasar emosional atau atas dasar hasrat yang ada dalam dirimu saat ini.

Syan,

Aku peduli dengan kamu, aku tidak ingin kamu melangkah lebih jauh lagi dalam hal ini, cukup aku saja yang mengalami, aku tidak ingin kamu mengalami hal yang sama. Aku ingin kamu menjadi manusia yang sesungguhnya, manusia yang berpijak dan berjalan pada rel yang seharusnya. Walaupun berat tapi kamu harus menjadi dirimu yang seutuhnya.

Syan,

Nanti kita lanjut lagi,ya. Aku tidak bisa lama-lama meninggalkan pekerjaan. Nanti kita sambung lagi. Semoga kamu tidak kecewa dengan apa yang aku tulis dan yang aku ucapkan untuk kamu.

Best regard

Kurenungkan apa yang ditulis Ra padaku. Kusematkan dalam hatiku dan kucoba untuk menjalankannya. Satu saat aku ingin membalas kebaikan yang pernah ia lakukan untukku. Aku harus lakukan yang terbaik. Kalau bukan untukku sendiri untuk orang yang selalu mensupportku.

SMS ayahku membawaku ke sebuah mal. Aku tahu aku datang untuk terluka. Untuk mendengar cerita tentang keluarganya yang bahagia. Tapi aku harus datang, aku harus datang, entahlah untuk apa aku datang mungkin untuk disakiti. Aku sudah duduk di depan seorang laki-laki setengah baya yang aku sendiri juga belum yakin benarkah ia ayahku atau hanya laki-laki hidung belang yang dulu pernah bercinta dengan ibuku. Kali ini aku hanya diam. Aku tak ingin lagi berharap. Aku tak ingin lagi kecewa dengan sikapnya. Entah sudah berapa lama aku terdiam di depannya.

“ Syan, mau makan apa?” katanya.

“ Terserah Bapak”

Laki-laki itu mencoret menu makanan dan mem-berikannya pada pelayan.

“ Syan, apa kau bisa cuti?”

“ Cuti untuk apa?”

Laki-laki itu menelan ludah beberapa kali. Untuk menahan sesuatu yang siap mengalir dari matanya.

“ Aku ingin bertemu ibumu.”

Seperti petir menyambar tubuhku ketika kudengar ucapannya. Entahlah aku senang atau sedih mendengarnya. Terlintas bayangan ibu. Apakah ibu bisa menerima kedatangan Ayah? Atau justru ibu akan terluka jika aku pulang membawa Ayah?

“ Untuk apa kau mau menemui ibuku?”

“ Untuk menyelesaikan masalah kita.”

“ Masalah…masalah apa?”

“ Untuk memastikan statusmu. Apa benar kau anakku atau bukan.”

“ Lalu kalau aku benar anakmu. Apa yang akan kau lakukan?”

“ Aku tidak tahu.”

“ Lalu untuk apa kau ingin memastikan apakah aku anakmu atau bukan?”

Laki-laki itu tampak bingung. Ia menatapku sejenak kemudian menelan ludahnya lagi. Seperti menelan kepahitan hidupnya. Aku sendiri tidak karuan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan menghadapi orang di depanku ini. Dia siapa? Aku siapa? Kenapa aku mencarinya? Dan setelah menemukanya kenapa begini jadinya? Ah mestinya aku tak perlu bertanya kenapa? Dan mengapa? Ini adalah konsekuensi dari apa yang aku lakukan.

“ Syan, aku memang berhubungan dengan Ibumu, tapi aku tak yakin kau adalah anakku. Dulu ibumu juga berhubungan dengan…”

“ Cukup, aku tak ingin kau cerita soal Ibuku…”

“ Bukan begitu, Syan. Aku hanya ingin kau tahu yang sebenarnya.”

“ Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mengakui aku. Tapi jangan cerita soal Ibuku. Itu akan melukaiku…”

Aku segera beranjak, namun tangan kokohnya sudah menarikku.

“ Duduklah, kita bicarakan baik-baik. Maaf jika aku sudah melukaimu…” ucapnya berusaha lembut. Aku tak berdaya dan duduk kembali.

“ Syan, aku ingin mendengar cerita soal ibumu. Apakah ia pernah pernah cerita tentang aku?”

“ Tidak, dia tidak pernah cerita tentangmu. Baginya kau sudah mati.” Jawabku emosi.

“ Ibuku adalah orang yang kuat. Ia memendamnya sendiri.” Sambungku.

“ Apakah ia juga tidak cerita padamu?” Aku hanya diam tak menjawabnya.

“ Syan, bagaimana kau yakin kalau aku adalah Ayahmu?”

“ Suatu malam. Ketika ibu pergi. Aku mencuri masuk ke dalam kamar ibu. Aku membaca buku harian ibu. Aku membaca semua keluh kesah dan hancurnya hati ibu.Di buku itu banyak tertulis namamu. Dan Ironisnya ibu hanya mencintaimu. Mencintai kau yang sudah beristri meski banyak laki-laki lain yang berusaha menarik hatinya. Asal kau tahu, cinta ibu sangat tulus sampai sekarang ia tak jua membuka hatinya untuk yang lain dan aku menemukan kartu namamu yang terselip di buku harianya dari kartu kecil itulah aku bertekad untuk datang ke Jakarta ini untuk mencarimu dan membawamu ke pelukan Ibu. Untuk menghentikan tangis Ibu… tapi setelah bertemu aku ragu. Aku takut aku malah melukai Ibu…”

“Syan, aku mengerti kegelisahanmu. Kau mungkin benar anakku tapi mungkin juga bukan. Jika kau benar anakku, betapa aku adalah orang paling jahat di dunia ini.”

“ Ya, kau memang. Jahat kau sudah menelantarkan Ibu. Kau sudah mengingkari harapan dan ketulusan yang Ibu berikan.”

“ Syan, kuharap kau mengerti, bukan inginku jika aku harus meninggalkan ibumu, ibumu pun tahu kalau aku sudah tidak sendiri. Coba katakan padaku salahkah aku, Syan?”

Yah, memang semestinya aku tidak menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Aku juga tidak tahu hubungan mereka yang sebenarnya.

“ Jika aku benar anakmu apa kau mau tinggal bersama kami? Bersama aku dan ibu?”

Aku sebenarnya tahu jawaban apa yang aku tanyakan tapi aku tetap menanyakannya meski aku tahu dia tidak mungkin meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama kami. Laki-laki itu hanya diam dan menatapku. Sepertinya mulutnya berat untuk mengucap sesuatu.

“ Syan, kurasa kau sudah tahu jawabanya. Kalau aku tidak bisa meninggalkan keluargaku. Namun jika kau benar anakku. Aku akan memberikan tunjangan untukmu, juga untuk ibumu. Tapi kalau kau bukan anakku jangan coba-coba kau menemuiku lagi.”

“ Baiklah lalu untuk apa aku di sini? Kurasa ayahku juga bukan orang jahat sepertimu.”

“ Haha…ibumu saja bercinta dengan banyak orang, bagaimana kau akan memiliki Ayah yang baik.” Ucapannya membuat darahku naik ke ubun-ubun. Hinaanya pada ibuku membuat aku ingin menyumpal mulutnya dengan sepatuku, tapi aku takut orang yang ada di depanku ini benar Ayahku. Aku hanya menatapnya dengan geram.

“ Sudahlah kau makan saja dulu.” Katanya sambil menyodorkan piring ke arahku.

Tuhan, kenapa aku bertemu dengan orang seperti dia. Kenapa tiba-tiba ia menjadi kasar begini. Mungkin karena ia tidak yakin kalau aku anaknya. Tapi kenapa ia selalu mengundangku ke sini?

Ah, sebaiknya mulai besok kulupakan saja orang ini. Kurasa dia bukan siapa-siapa. Aku sudah lelah dengan semua ini.

“Maafkan aku, Syan. Bukan maksudku…”

“Ya, aku mengerti, kok. Mestinya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin. Bukan dengan cara begini.”

“ Kau benar, Syan. Maafkan aku, aku emosi.”

“ Sama-sama.”

“ Baiklah, sekarang apa yang harus kita lakukan.”

“Syan, hanya minta jika kau benar Ayahku, Syan tidak ingin mendengar cerita tentang keluarga Ayah, karena itu hanya akan melukai Syan.” Laki-laki itu masih diam namun sedikit tersenyum seperti mengerti persaanku.

Aku takut untuk memecat anak ini. Aku takut terjadi apa-apa dengan orang-orang di kantor ini. Anak ini memiliki kekuatan batin yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Bab 7

Dipecat

Kupikir suasana di kantor sudah membaik ternyata aku salah. Siang itu kudengar lagi percakapan Pak Edward dan Pak Candra dari meja kerjaku.

“ Bagaimana, Pak? Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi anak itu?” kata Pak Candra yang sudah sembuh dari sakitnya.

“Kenapa ga kita berhentikan saja, Pak?”

“Dipecat, maksudmu…”

“ Ya, kasarnya begitu.”

“ Tapi apa alasan kita untuk memecatnya?”

“ Banyak karyawan tanpa alasan yang jelas pun bisa Bapak berhentikan. Kenapa yang ini tidak.”

“ Yang ini lain, Pak Edward…”

“ Maksud Bapak?”

“ Aku takut untuk memecat anak ini. Aku takut terjadi apa-apa dengan orang-orang di kantor ini. Anak ini memiliki kekuatan batin yang tak bisa dijelaskan dengan logika.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Menurut bapak gimana?”

“Bagaimana kalau kita hapus saja kolom komiknya. Dengan begitu tidak ada lagi yang jadi korban dari cerita-cerita khayalannya.”

“ Ide yang bagus, Pak Edward. Tapi bagaimana dengan anak itu?”

“ Kita pindahkan saja ke bagian umum.”

“ Janganlah, Pak Edward. Kasihan, kan? Bisa kualat, lho”

“ Haha…mestinya dia yang kualat sama kita. Orang dia itu anak baru kemaren sore.”

“ Tapi Pak, biasanya doa anak seperti itu cepet terkabul, lho.”

“ Bagaimana sih dulu dia bisa sampai diterima di sini, Pak Candra?”

“ Anak ini pinter dia memiliki banyak bakat, prestasinya di mana-mana. Beberapa kali juara, tidak hanya dalam satu bidang. Dan hampir semua bidang seni dia menguasainya. Meskipun pendidikanya tidak tinggi. Tapi prestasinya cukup membuatku tercengang. Meski kalau diperhatikan anak ini suka bengong kaya’ orang bego. Kalau orang awam melihatnya anak ini seperti tidak memiliki kemampuan apa-apadan dulu saya pikir anak ini lugu dan polos. Tapi…”

“ Tapi sekarang nginjak-injak kepala ya Pak Candra.”

“ Ga begitulah, Pak. Itu juga di luar kesadaran dirinya.”

“ Bagaimana tidak menginjak-injak kepala, Pak. Tulisannya mirip dengan kejadian yang menimpa Bapak beberapa waktu yang lalu. Mungkin kalau Pak Teguh tidak meminta ia untuk merubah komiknya mungkin bapak sudah….”

“ Sudah apa Pak, mati…”

“ Maaf, Pak candra.”

“ Pak Edward, janganlah terus-terusan menghujat anak ini saya yakin anak ini adalah anak yang dipilih. Dan sesungguhnya saya pun juga tidak tega untuk menghapus kolom komiknya atau memindahkannya ke bagian umum yang bukan bidangnya.”

“ Lalu apa yang akan kita lakukan, Pak Candra?”

“ Aku pikirkan itu nanti”

Dengan jelas aku mendengar semua percakapan mereka. Aku sudah siap jika terjadi hal terburuk yang menimpaku. Aku siap jika aku sewaktu-waktu dipecat. Aku siap. Mungkin kepergianku akan hadirkan bahagia untuk mereka. Meski aku belum tahu kemana jika aku benar-benar berhenti kerja.

“Bengong aja, lu, Syan.” Suara Velony mengagetkanku.

“Bener, Ve. Apa yang elu bilang. Tadi gue denger sendiri dari Pak Edward dan Pak Candra “

“ Sebaiknya lu cari kerjaan dari sekarang, Syan. Ga papa’ yang sabar aja, siapa tahu elu dapet pekerjaan yang lebih bagus dari tempat ini. Aku yakin, Syan.”

“Tapi Ve, gue ga punya skill, gue cuma bisa gambar.”

“ Banyak, Syan. Kalo lu mau. Lu bisa nglamar di advertising atau di koran dan majalah lain. Dari pada di sini, semua orang memusuhi elu.”

“ Iyalah,tar gue coba. Doain. Ya.”

“ Syan, kamu disuruh ke ruang Pak candra.”

“ Pak Candra ?”

“ Iya, dia memanggil elu. Dia nyari elu tadi”

Ada apa sih, Ve?”

“ Udah, dateng aja, Syan.” Aku sudah berada di depan Pak Candra. Wajahnya masih tampak pucat setelah beberapa hari sakit. Namun aura kesabaran tergaris di antara kerutan matanya. Aku menunggu apa yang akan disampaikannya padaku.

“Syan..” katanya

“Syan, aku mendapatkan giliran untuk mengalami apa yang mereka alami.” Katanya tenang.

“Mengalami apa, Pak?”

“Aku mengalami kejadian seperti cerita yang kau tulis” aku terdiam, kali ini aku tak lagi mampu menjawab. Kenyataannya, kejadiannya memang benar.

“ Syan, terimakasih”

“ Terimakasih untuk apa, Pak?”

“ Kamu sudah merubah ceritamu, kalau tidak entahlah. Apa yang terjadi dengan diriku.”

“ Pak, maaf saya tidak bermaksud membuat cerita yang mirip dengan kejadian nyata. Dan tak sedikit pun terbersit dalam hati saya untuk menyakiti orang karena membuat cerita itu. Sungguh, cerita itu murni khayalan. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cerita itu bisa mirip kejadian nyata.”

“ Syan, mungkin kamu tidak menyadari, sesungguhnya kamu itu orang yang dipilih untuk menghukum orang-o-rang yang penuh dosa seperti kami.” katanya pelan.

“ Bagaimana Bapak bisa menyimpulkan begitu?”

“ Kami mengundang orang pintar untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi di kantor ini.”

Orang pintar? Kenapa harus mengundang orang pintar. Bukankah mereka itu orang yang berpendidikan kenapa di jaman sekarang mereka masih percaya dengan dukun. Ah, kurasa orang-orang di kantor ini udah mulai kacau.

“ Syan, sesungguhnya banyak yang mengusulkan untuk menghapus kolom komikmu. Tapi aku masih pertim-bangkan. Selama kau mau merubah cerita-ceritamu menjadi cerita yang tanpa konflik.” Bagaimana sebuah cerita tanpa ada konflik. Bagaimana cerita menjadi menarik tanpa konflik?

“ Kenapa mesti tanpa konflik, Pak?”

“ Aku tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi di kantor ini.”

“ Tapi Pak, bagaimana saya membuat cerita tanpa konflik? Bukankah cerita tanpa konflik akan hambar.”

“ Kau bisa membuat komik tentang keluarga harmonis.atau apalah yang ga mesti ada konflik.”

“ Baiklah, Pak. Akan saya coba.”

“ Terimakasih, Syan. Bapak minta maaf jika ada salah padamu. Bapak harap kamu bisa terus berkarya di sini. Dan bapak berharap komik-komik kamu bisa lebih baik lagi.”

“ Pak, Syanlah yang mestinya minta maaf. Komik Syan sudah membuat repot semua orang. Dan mudah-mudahan ini tidak akan terjadi lagi.”

“Bapak pun berharap begitu. Makanya lebih baik kau buat komik yang tanpa konflik. Agar suasana di kantor ini juga lebih tenang. “

“ Iya Pak. Mudah-mudahan.”

“ Ok Syan, selamat berkarya kembali.” Lega rasanya mendengar apa yang disampaikan Pak Candra. Aku kembali ke mejaku dan bertekad untuk membuat komik yang tanpa konflik. Kuawali dengan komik dengan judul keluarga harmonis. Yang menceritakan tentang keluarga besar yang bahagia saling menyayangi. Dan tak ada masalah yang berarti di dalamnya. Satu minggu komik itu selesai. Dan siap untuk dimuat. Akupun kembali semangat menjalani hari-hariku. Namun apa yang terjadi saat komik itu dimuat. Terjadi perpecahan di Harian Skandal. Beberapa redaktur dan wartawan memutuskan untuk membuat tabloid sendiri. Dan lagi-lagi aku dituduh menyindir apa yang terjadi di kantor itu.

“ Ve, gue bingung.” Ucapku saat Velony datang ke mejaku.

“Kenapa lagi sih, Syan?”

“Komik gue Ve, ada masalah mulu.”

“Bukannya, lu udah bikin komik yang ga ada konfliknya?”

“Itulah Ve, justru itu gue dituduh nyindir keluarga harian skandal yang ga harmonis.”

“Yang sabar ajalah, Syan. Trus mau gimana lagi. Kalau begitu terus kejadiannya?”

“Gue juga ga tahu, Ve. Mungkin gue cabut aja kali ya?”

“ Ya, cari kerjaan yang lain dulu lah, Syan. Kalo udah dapet, baru elu boleh cabut.”

“ Iya juga sih,Ve. Tapi nyari kerja kan ga semudah membalikkan telapak tangan. Dan lagi di sini rasanya gue dah ga tahan lagi. Bayangin aja, begini salah begitu salah, terus gue mau gimana…”

“Sabar dulu, Syan. Nanti pasti ada jalannya…” Velony menepuk-nepuk pundakku menguatkanku. Aku kagum dengan cewek di depanku ini. Cewek satu ini tidak seperti cewek yang lain. Yang manja. Cewek satu ini sangat tegar dan mandiri. Kebalikannya denganku. Rapuh dan tak berdaya. Dilihat dari pekerjaannya pun cewek ini seperti menyukai tantangan. Baru kali ini seumur hidupku aku menemui cewek yang memilih bekerja sebagai IT. Saat bekerja, Velony tak pernah mengeluh. Ia sangat profesional. Bahkan untuk mengangkat CPU yang biasa cewek tidak mampu lakukan. Tapi dengan entengnya Velony mampu melakukannya. O-rang bilang aku dan Velony pacaran, aku sih tertawa saja mendengarnya. Kami memang akrab berteman. Meskipun bisa dibilang karakter kami sangat berseberangan. Tapi aku tidak tahu. Hanya Velony satu-satunya orang yang bisa aku ajak ngobrol. Hanya ngobrol tak lebih. Velony pun tak tahu. Apa yang aku rasakan. Velony juga tak pernah menyentuh bagian dalam dari hatiku. Kami hanya teman biasa tapi, dialah satu-satunya teman nyata yang aku miliki setelah Ra yang ada entah di dunia mana. Aku tahu banyak tentang Velony, dia itu cuek, mudah bergaul dan tak pernah mempedulikan apa pun omongan orang tentang dirinya.

Sementara aku kebalikannya. Kadang aku jadi malu jika lihat Velony, cewek ini banyak memiliki hal yang dimiliki cowok. Cewek ini pemberani dan pantang menyerah. Sementara aku penuh keraguan dan pesimis. Kalau jalan bareng kadang-kadang dia tuh kaya bodyguardku saja. Bayangkan, jika kau lihat dia dengan tank topnya maka kau akan lihat tato bunga mawar di lengannya dan jika lebih dalam kau perhatikan kaosnya yang tidak sampai ke punggung itu di situ ada tato yin-yang melingkar di punggungnya, juga rambutnya yang cepak kemerahan. Dengan sedikit polesan make-up membuat cewek ini terlihat aneh bagi orang yang pertama kali melihatnya.

Tapi bagiku dia biasa saja. Kalau sudah kenal sesungguhnya Velony adalah cewek yang hangat yang cepat bergaul dengan siapa saja. Tapi satu hal yang tidak aku suka dengan cewek ini adalah kadang dia lebih mengandalkan akal dari perasaannya. Cara berfikir Velony lebih realistis dari pada aku. Dia lebih bisa memutuskan masalah yang rumit dari pada aku yang penuh pertimbangan. Aku pernah dibantai habis saat main badminton di rumahnya atau main voli berdua dengannya. Haha…kadang aku menertawakan diriku sendiri bagaimana aku bisa dikalahkan cewek? Dan lagi memang aku kurang suka dengan olah raga.

Cewek ini juga sangat tegar. Katanya, sepanjang hidupnya dia jarang menangis. Dan dia hanya akan menangis untuk orang yang ia sayangi. Dan katanya tak ada satu pun yang ia cintai di dunia ini. Pernah satu ketika Velony membuka hatinya untukku. Ia bercerita tentang masa lalu hidupnya yang hancur. Sama sepertiku ia adalah korban dari orang tua. Ya, sama tapi beda kasus. Konon katanya Velony lari dari rumah karena mendapat perlakuan tidak senonoh dari ayah tirinya. Keadaan yang tidak menentu dalam keluarganya membuat Velony jadi bulan-bulanan nafsu bejat ayah tirinya.

Sampai akhirnya ia lari dari rumah dan mencari hidup sendiri. Sejak saat itu, Velony bertekad untuk tidak tergantung pada seseorang, siapapun orang itu. Dia juga cerita bahwa dulunya dia adalah cewek yang lembut dan cantik. Namun ia terluka oleh kecantikannya. Karena frustasi, ia memangkas habis rambutnya dan menato lengannya dengan bunga mawar yang terkoyak. Seperti mawarnya yang terluka. Gambar tato yin-yang di punggungnya memiliki arti tersendiri baginya, baginya gambar yin-yang itu membuatnya bisa menerima apapun yang terjadi pada dirinya. Menurutnya, yin-yang itu adalah keseimbangan. Seperti hitam putih, gelap dan terang. Seperti perjalanan hidup yang pernah dilaluinya.

Menurutnya, kadang manusia harus melewati hitam dulu sebelum mendapatkan putih. Kadang manusia harus melewati gelap sebelum sampai ke terang. Hitam dan gelap yang dilewatinya sesungguhnya bukan yang ia mau. Kalau pun bisa, ia ingin lahir kembali dan membuka lembaran hidupnya tanpa noda hitam dan gelap yang menyesatkan. Mungkin itulah kurang lebih tato yang bisa aku baca dari tubuhnya. Menurutku, Velony adalah cewek yang kuat yang pernah aku temui. Bersamanya aku merasa nyaman.

Aku, Ra, dan Velony seperti pelangi. Kami adalah warna yang berbeda tapi kalau disatukan akan menjadi kesatuan warna yang indah yang akan menghias langit kehidupan. Meskipun langit hitam dan gelap, warna kami akan memberi indah walau sekejap. Meskipun mungkin warna kami pucat oleh hujan tapi hujanlah yang menghadirkan kami. Seperti hidup, meski berulang kali harus terluka oleh orang-orang yang kita cintai tapi cintalah yang menghadirkan kita ke dunia.

Aku sudah berada di depan Pak Candra. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Apapun yang dikatakannya sudah aku turuti. Tapi kenyataannya tak ada perubahan. Komikku tetap saja membuat masalah. Aku tidak mengerti kenapa begini? Sekarang aku pasrah apa pun yang nanti terjadi padaku biarlah terjadi.

“ Syan, semalam kami rapatkan tentang masalah komik kamu. Kami berkesimpulan mungkin yang terjadi memang hanya sebuah kebetulan belaka. Dan mungkin kamu memang tidak pernah salah. Tapi perlu kamu ketahui mulai awal bulan kami memutuskan untuk menghapus kolom komik yang biasa jadi tempat kamu berkarya. Syan, kau pun tahu keadaan di kantor ini sedang banyak masalah. Ee..Syan, berat kukatakan ini padamu…”

“ Katakan, Pak. Apapun keputusan Bapak, saya terima. Saya siap mendengarnya.” Kataku tegas.

“ Syan, kalau saya pribadi ingin kamu tetap di sini. Berkarya bersama teman-teman yang lain. Tapi saya sendiri tidak bisa menahanmu. Dan rapat semalam memutuskan bahwa silakan Syan cari pekerjaan yang mungkin lebih baik dari tempat ini…” aku terdiam, ucapan itu memang membuat aku terkejut. Tapi aku sudah siapkan diriku untuk men-dengarnya. Ada kelegaan tersendiri yang tiba-tiba menyusup di antara sesak di dadaku. Mungkin lega karena aku tak perlu lagi menghadapi mereka yang mempersoalkan komikku. Mungkin lega karena aku tak lagi memiliki tanggung jawab atas pekerjaanku. Entahlah…” sekarang kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan Pak Candra dengan pasti. Tak ada kesedihan sedikit pun dalam hatiku. Meski mungkin nanti aku harus menghadapi semuanya sendiri. Meski nanti aku harus memulai lagi dari nol. Ajaib? Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan diriku, kenapa aku begitu tegar menghadapinya.

“Syan..” suara yang sudah akrab di telingaku meng-hentikan langkahku. Velony.

“Gue sudah tau semuanya, Syan.” Aku terpaku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Terdiam menatapnya. Dialah kawanku satu-satunya di sini.

“Ve, maafin gue. Gue harus pergi…maafin kalo gue banyak salah sama elu. Maafin..” suaraku seperti tercekat. Tenggorokanku tiba-tiba serasa kering dan aku tak mampu lagi bicara.

“ Syan..” Velony menatapku, ada sesuatu di matanya yang susah payah ditahannya, namun butiran kristal itu tetap mengalir di bukit kecil di pipinya.

“Ve, elu nangis?” tak pernah kulihat Velony menangis. Ia pernah bilang bahwa ia hanya bisa menangis untuk orang yang ia sayang.

“ Syan…” gadis itu menghambur memelukku. Erat seperti ia memeluk hidup dan matinya. Aroma cologne tercium dari gaunnya.

“ Syan, elu satu-satunya yang gue punya…” ucapnya tertahan oleh tangisnya yang kian meledak. Tak pernah kulihat Velony serapuh ini.

“ Ve, bukannya elu yang ngajarin gue untuk bisa nerima kenyataan?” Velony diam. Aku tak mengerti harus bagaimana. Hubunganku dengan Velony memang dekat, tapi kami tak pernah memiliki hubungan khusus. Kami hanya teman tak lebih. Bahkan dia pun tak tahu sebenarnya siapa aku? Apa yang terjadi dengan diriku.

“ Lu, mau kemana, syan?”

“ Gue, ga tahu,Ve. Mungkin cari kerja lagi mungkin juga menyerah…”

“ Lu harus kerja, Syan, buktiin sama mereka kalo elu bisa dapet yang lebih baik dari di sini…”

“ Ga perlu buktiin sama mereka ,Ve. Kalaupun gue harus kerja, bukan untuk buktiin sama mereka tapi untuk diri gue sendiri.”

“Iya, Syan. Lu, harus kerja…”

“Ve, maafin gue, kalo gue banyak salah.”

“ Sama-sama, Syan. Gue juga. Syan, gue ada sesuatu buat elu. Gue taruh di tas lu.”

“Makasih, Ve. Lu ga perlu repot-repot..”

“Ga, kok. Gue ga pernah ngasih barang ke elu.”

Suara deheman melepaskan pelukan kami.

“Maaf…” kata Pak Candra mengagetkan kami.

“Syan…” katanya lagi.

“Syan, saya mewakili keluarga besar harian Skandal minta maaf. Mungkin selama kamu bergabung di sini kami mempunyai kesalahan yang kami sengaja atau pun tidak. Mungkin kita pernah selisih paham, itu biasalah, Syan.” Kata Pak Candra berusaha santai. Mencairkan keadaan.

“ Sama-sama, Pak. Saya juga banyak berbuat salah di sini.”

“ Saya tahu Syan, sesungguhnya itu juga bukan yang kamu mau…”Pak Candra menyalamiku. Dijabatnya erat tanganku.

“ Sukses, ya. Saya yakin kamu pasti bisa dapatkan yang lebih bagus dari di sini.”

“ Mudah-mudahan, Pak.” satu persatu temanku datang ke meja kerjaku dan mengatakan kata-kata klise yang biasa dikatakan seseorang yang akan berpisah dengan sahabat, teman dekat atau keluarganya. Ada yang tulus mengucapkannya dan ada yang hanya basa-basi. Beberapa di antara teman-temanku tertunduk dan menyembunyikan airmatanya yang tertahan.

Dadaku tiba-tiba bergetar mendengar apa yang dikatakan Ra, bagaimana mungkin dia merasakan apa yang terjadi denganku. Aku belum mengabari apa yang baru saja terjadi dengan diriku. Sungguh ajaib. Siapa dia sebenarnya. Kenapa ia bisa merasakan kesedihanku

Bab 8

Aku dan Ra

Kucoba untuk tegar dan tetap mengangkat mukaku dengan senyum yang mengembang seolah tak pernah terjadi apa-apa denganku. Entahlah, setelah dari sini aku bisa mendapatkan pekerjaan atau tidak. Aku tidak memiliki pendidikan tinggi seperti mereka. Aku hanya punya sedikit keterampilan dan itupun tak semua perusahaan bisa memakai keterampilan yang aku miliki. Aku hanya bisa menggambar.

Akh, aku ga boleh putus asa. Masih banyak kesempatan lain yang menungguku, hiburku. Mungkin di sini bukan rejekiku. Tiba-tiba rasa hampa menyergapku. Rasa takut tidak mendapatkan pekerjaan lagi menyesakkan dadaku. Aku bingung dan terduduk diam. Diam sesaat, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba handphoneku berdering. Ra meneleponku.

“ Syan…” katanya dari seberang.

“ Syan, perasanku tidak enak. Apakah kau baik-baik saja?” katanya. Dadaku tiba-tiba bergetar mendengar apa yang dikatakan Ra, bagaimana mungkin dia merasakan apa yang terjadi denganku. Aku belum mengabari apa yang baru saja terjadi dengan diriku. Sungguh ajaib. Siapa dia sebenarnya. Kenapa ia bisa merasakan kesedihanku. Oh, Tuhan…

“ Ee..h … aku..”

“ Kau kenapa, Syan? Katakan padaku.”

“ Aku..aku berhenti kerja.”

“ Kenapa kau berhenti? Bukankah sudah kukatakan padamu kau harus bertahan.”

“ Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan di e-mail.”

“ Lalu apa rencanamu?”

“ Aku tidak tahu.”

“ Syan, saranku, kau coba dulu untuk mencari kerja, aku yakin kau bisa. Aku akan tetap mendampingimu apapun yang terjadi. Berusahalah, Syan.”

“ Bagaimana di tempatmu bekerja, apakah ada lowongan?”

“ Di sini belum ada, Syan. Kalaupun ada, di sini minimal harus sarjana…maaf, Syan.”

“ Ga ‘papa”

“ Syan, kamu masih kost, kan?”

“ Iya…” sesungguhnya aku tak ingin ceritakan masalahku pada Ra. Tapi ia seperti bisa merasakan apa yang terjadi denganku. Ini sungguh di luar nalar.

“ Ra, sesungguhnya aku butuh seseorang untuk berbagi. Aku rapuh aku bingung harus bagaimana? Apakah kau bisa menemuiku?”

“ Maafkan aku, Syan. Untuk saat ini aku belum bisa. Kita sama-sama berdoa saja. Mudah-mudahan masa sulit ini bisa kamu lewati. Kamu harus yakin, Syan. Kamu pasti bisa melewatinya, doaku bersamamu.” Ucapan Ra sungguh meneduhkanku. Meski dia jauh di sana, namun aku merasa tidak sendiri. Ada seseorang yang masih peduli padaku. Meski aku tidak tahu sesungguhnya dia itu siapa. Kadang hidup ini sangat aneh. Bagaimana mungkin aku bisa memiliki hubungan hati yang erat dengan orang yang tak pernah aku temui.

Aku masih berdiri di sini, masih menatap langit Jakarta yang semakin kelam. Mungkin sekelam hari depanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku. Aku harus memulai lagi dari awal, tekadku. Aku harus bisa, aku harus bisa menaklukkan Jakarta.

Kubuka ranselku dan kukeluarkan isinya sebuah buku diary. Bukan milikku kubuka buku itu.

Syan,

Jika kau baca semua isi buku ini maka kau akan tahu apa sebenarnya yang aku rasakan padamu. Bagiku kau istimewa, Syan. Tidak seperti teman-teman yang lain. Kau tidak melihat fisik dan kau mampu menerimaku apa adanya. Sesungguhnya kita adalah sama. Maafkan aku. Aku pernah buka lacimu dan membaca semua hidupmu dari diarymu. Sebagai gantinya kau boleh baca semua diaryku. Aku hanya ingin kau tahu apa yang aku rasakan.

Syan, kita memiliki perjalanan hidup yang hampir sama. Kita sama-sama terluka oleh hidup. Sesungguhnya saat kau pergi, akulah orang yang paling merasa kehilanganmu. Tapi jangan pedulikan hatiku, Syan. Tetaplah melangkah. Aku yakin kau bisa. Jangan pernah menyerah dan putus asa. Kita tidak sendiri. Meski kita orang yang kalah tapi kita harus buktikan bahwa tanpa orang tua, kita juga bisa. Dan kita harus bisa. Biarlah mereka bahagia dengan cara mereka sendiri. Relakan mereka. Dan berjanjilah untuk bisa berdiri lagi. Tinggalkan semua di belakang karena kemarin adalah masa lalu. Sekarang yang harus kau lakukan adalah menatap masa depanmu. Berjuanglah. Aku bersamamu.

Velony.

Kututup diary Velony. Perasaan haru sedih campur aduk menyergapku. Aku khawatir meninggalkannya, mening-galkan Velony sendiri, gadis yang terlihat tegar itu se-sungguhnya sama rapuhnya seperti aku. Aku takut tak ada tempat baginya untuk melabuhkan hati. Ve, maafkan aku… Tuhan, tolong jaga Velonyku. Jangan biarkan dia sendiri…bisikku pada Tuhan. Aku selalu berharap ia akan selalu baik-baik saja.

Entahlah tak pernah sebelumnya aku merasakan setakut ini. Aku baru sadar setelah pergi, betapa berartinya Velony bagiku. Sebelumnya aku tak pernah menghargai kebersamaan kami. Betapa ia selalu mengisi hari-hariku. Menemaniku sebagai sahabat. Sahabat yang tulus tanpa pamrih dan cinta yang tulus itu sesungguhnya memang dari seorang sahabat. Sahabat tidak akan cemburu, sahabat tidak akan menuntut. Dan sahabat selalu ada jika kita butuhkan. Semestinya aku bisa menghargai itu semua.

Velony,

Maafkan aku. Aku harus pergi. Aku baru sadar bahwa hanya kau satu-satunya orang di kantor itu yang bisa mengerti aku. Ve maafkan aku jika aku selalu membuatmu kesal di setiap hari yang telah kita lalui. Maafkan aku jika aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik untukmu, maafkan…aku tak bisa berkata-kata lagi tubuhku terasa lemah mengenangmu. Mari kita sama-sama berdoa. Mudah-mudahan aku bisa. Kelak aku akan menemuimu dan tetap menjadi sahabatmu.

Syan.

Kutinggalkan pesan di e-mail Velony. Rasanya berat meninggalkannya tapi hidup harus terus berjalan. Aku harus menghadapi kenyataan yang mungkin lebih baik ataupun lebih buruk dari saat ini.

Hari-hari kulalui untuk melamar pekerjaan. Lelah rasanya, tapi aku harus kerja. Tak kukabarkan apa yang kualami pada Ibuku. Atau pada laki-laki yang masih misterius apakah dia ayahku atau bukan. Kucoba untuk melamar pekerjaan dan mencari kemungkinan. Kemungkinan dari koran, internet dan media lain. Tapi tak satupun yang direspon.

Hingga sebulan berlalu aku masih bertahan di kost. Kurogoh dompetku, masih ada sepuluh lembaran ratusan ribu. Uang pemberian Pak Nando masih tersimpan rapi di dompetku. Hanya inilah nafas terakhirku. Jika aku tak segera mendapatkan pekerjaan mungkin aku bisa jadi gembel di Jakarta ini. Kurogoh tas ranselku, kukeluarkan sebuah foto. Kucium foto itu.

“ Doakan aku, Bu.” Lalu kumasukkan lagi fotoku dan aku kembali melangkah menyusuri jalanan Jakarta. Mencari alamat perusahaan yang kutemukan di koran maupun internet.namun tak satupun yang menerimaku. Kucoba untuk tenang dan terus berusaha, namun usahaku seperti sia-sia.

Aku mulai takut berada di Jakarta. Uangku mulai menipis. Entahlah apakah bulan depan aku mampu membayar kost atau tidak. Jika tidak bisa membayar uang kost mungkin aku akan diusir. Aku tidak tahu harus kemana jika diusir. Rasanya cobaan ini sudah di luar kemampuanku.

Aku masih terduduk di atas jendela memandangi bintang-bintang yang selalu menemaniku. Bintang itu begitu terang, indah sekali malam ini. Ingin rasanya aku menjadi bintang. Meskipun berada di langit tergelap, namun sinarnya mampu menerangi malam. Hanya bintang di langit tergelaplah yang sinarnya lebih terang dari yang lain. Tapi akankah aku bisa menjadi bintang yang menerangi sesama? Tuhan, kemana lagi aku harus melangkah?

Sebuah bintang terang meluncur turun. Sinarnya yang putih dan gaib sesaat menerangi langit dan menghilang.Oh Tuhan, bintang jatuh. Segera kubisikkan pintaku pada Tuhan. Aku yakin bintang itu adalah harapan. Aku yakin setelah tanjakan, jalanan akan menurun. Selepas hujan, mentari kan hadirkan pelangi.Begitu juga dengan hidup. Aku yakin, Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuanku.

Ada energi yang tiba-tiba merasuk dalam tubuhku, entah apa aku tidak tahu. Rasa sesak dan hampa di dadaku tiba-tiba sirna berganti semangat. Kucoba untuk tetap menyalakan harapan yang tersisa di dadaku. Karena hanya dengan harapan ini aku bertahan. Aku masih punya Ra meskipun ia hanya hadir dalam bentuk semangat. Namun aku memilikinya. Seperti desir angin yang menyejukan, ia bisa aku rasakan tapi wujudnya tak bisa kulihat. Ia hadir dalam hatiku. Aku percaya Ra seperti aku percaya pada matahari yang akan terbit esok pagi. Meskipun kadang tenggelam oleh hujan tapi mentari kan selalu ada menghangatkan hati. Aku selalu berharap Ra baik-baik saja dan satu saat aku akan menemuinya untuk bercerita tentang perjalanan hidup kami. Sebuah ketukan di kamarku membangunkan lamunanku.

Ayah ingin membuatmu bahagia. Ayah ingin melihatmu tersenyum. Ini tidak seberapa dibanding kebahagiaan yang pernah ayah reguk di dunia.

Bab 9

Berlibur

“ Syan, apa kau tidur?” teriak seseorang dari luar. Aku segera turun dari jendela dan membuka pintu.

“ Ee..Ayah..eh, Pak Nando.”

“ Syan, kenapa SMS dan telepon ayah tidak dijawab?”

Oh Tuhan, dia bilang Ayah. Apakah dia sudah menyadari kalau aku adalah anaknya. Tuhan, inikah jawaban dari doaku? Inikah bintang jatuh tadi? Tiba-tiba rasa damai merasuk dalam hatiku. Rasa nyaman karena ditengok membuatku ingin memanggilnya, Ayah..Ayah dan Ayah. Rasanya aku ingin menumpahkan beban hidupku di dadanya yang bidang. Rasanya aku ingin menangis seperti waktu aku kecil dulu.

“ Handphone Syan udah lama ga diisi,Yah..”

“ Syan, setelah tak kau jawab telepon Ayah. Ayah datang ke tempat kerjamu. Ayah takut terjadi apa-apa denganmu.” Oh,Tuhan dia mengkhawatirkan aku. Tuhan, apakah ini keajaibanMu? Seumur hidupku baru kali ini aku dikhawatir-kan seorang Ayah. Rasanya aku ingin mendengarkannya sekali lagi. Aku ingin mendengar apa yang dikatakan Ayah padaku. Betapa bahagianya hatiku mendengarnya. Mungkin Ayah tak menyadari bahwa kata-katanya membuatku melambung.

“ Perasaan Ayah benar. Kata orang di kantormu kau sudah tidak bekerja..”

“ Maafkan Syan, Yah..”

“ Ga ‘papa Syan, aku sudah mendengar semua cerita tentangmu dari orang-orang di kantormu. Kamu ga salah, Ayah bangga padamu, Syan.” Ayah merentangkan tangannya memelukku. Aroma khas laki-laki dewasa tercium dari tubuhnya. Dadanya yang bidang meneduhkan hatiku dan melenyapkan semua ketakutanku. Semua seperti sirna oleh kedatangannya. Ayah memelukku erat. Aku seperti kembali ke beberapa tahun yang silam ketika aku masih kecil. Sensasi masa kecil itu menjelma kembali. Tanpa malu-malu aku menangis di dadanya. Memang dada seorang ayah diciptakan untuk meneduhkan anaknya saat ia terjatuh.

“ Syan…” katanya tenang.

“ Maukah kau hidup bersama-sama dengan kami?” Aku masih belum percaya dengan apa yang diucapkannya. Dan lagi-lagi aku ingin mendengarkanya sekali lagi.

“ Syan, ga punya pilihan lain, Ayah”

“Atau kau mau tetap di sini dan setiap bulan Ayah akan datang mengirim kebutuhanmu sampai kau mendapatkan kerja kembali.” Kalau benar-benar harus memilih sesungguh-nya aku ingin bersama Ayah tapi bagaimana dengan keluarganya apakah mereka bisa menerimaku. Mungkin aku akan memilih yang kedua. Tetap di kost. Dan mencari pekerjaan dengan uang tunjangan dari Ayah.

“ Tapi bagaimana dengan keluarga Ayah, apakah mereka bisa menerima Syan?” Ucapku ragu.

“ Itulah masalahnya, Syan. Ingin sekali Ayah mengajakmu serta tapi..aku tidak tahu apakah mereka bisa mengerti atau tidak.”

“ Syan pun sesungguhnya ga mau menggangu kebahagiaan Ayah yang sudah lama Ayah bangun…” Ayah menatapku.

“ Maaf, Yah. Bolehkah Syan tetap di sini dan maaf jika tidak keberatan, Syan mohon Ayah bantu Syan sampai Syan mendapatkan pekerjaan lagi.”

“ Itu pasti, Syan…Ayah pasti bantu kamu.” Lega rasanya mendengarnya aku tak akan ketakutan lagi karena kekurangan. Puji syukur pada Tuhan, doaku terjawab.

“Syan, Ayah ingin menebus dosa Ayah. Ayah ingin bahagiakan kamu.”

“ Ayah, apakah Ayah sudah yakin kalau Syan benar-benar anak Ayah?”

“ Iya , Syan maafkan Ayah yang sudah kasar padamu.”

“ Ga,’papa, Yah. Syan ngerti ko….”

“ Syukurlah, Syan. Syan, ayah datang ke sini untuk mengajakmu liburan.”

“ Liburan, Yah?”

“ Ya, liburan. Ayah tahu kamu sudah banyak menderita. Ga ada salahnya jika sekali-kali kau bersenang-senang dengan Ayah.” Aku menatap laki-laki di depanku ini. Dari matanya aku bisa melihat apa yang dikatakannya sungguh. Sungguh senang aku mendengarnya. Tapi aku coba untuk menyembunyikan perasaanku dulu, aku tidak boleh terlalu banyak berharap. Aku tidak ingin kecewa nantinya jika apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan.

“ Syan, ayah ingin ajak kamu liburan ke Bali” Bali oh Tuhan, Bali. Benarkah apa yang diucapkannya? Aku akan jalan-jalan dengan ayahku ke Bali. Seandainya Ra atau Velony ada di sini, ingin kukabarkan berita ini pada mereka. Seandainya aku bisa, ingin kuajak serta mereka.

“ Ayah, apakah Syan tidak salah dengar?”

“ Tidak, Syan. Ayah ingin mengajakmu. Ayah ingin membuatmu bahagia. Ayah ingin melihatmu tersenyum. Ini tidak seberapa dibanding kebahagiaan yang pernah ayah reguk di dunia. Tidak adil rasanya jika kau tidak turut merasakan kebahagiaan itu. Ayah tidak akan mengajak keluarga Ayah. Hanya akan ada Ayah dan kamu. Kamu mau kan, Syan?”

“ Ayah, ini seperti mimpi…”

“ Ini bukan mimpi, Syan. Ini benar. Ayah tidak akan bohong.” Ayah memegang pipiku. Kami tersenyum bahagia. Belum pernah aku merasakan kebahagiaan seperti ini.

“ Syan, Ayah mungkin akan berangkat duluan. Ayah ada urusan dengan seorang teman di Bali. Nanti kamu nyusul tanggal tujuh. Ini uang untuk tiket, kamu simpan. Nanti sampai Bali, ayah jemput di bandara Ngurah Rai.” Ayah mengeluarkan amplop putih dari kemejanya dan menyerahkannya padaku.

“ Ayah pulang dulu. Ayah besok harus berangkat. Hati-hati, jaga diri baik-baik. Ayah tunggu di Bali, nanti kita jalan-jalan ke mana pun Syan suka.” Ayah mengusap-usap rambut lembutku sebelum benar-benar pergi. Kuintip amplop yang diberikan Ayah padaku. Ada beberapa lembar ratusan ribu, aku tidak tahu berapa jumlahnya aku tidak mau menghitungnya. Kulemparkan amplop itu ke tempat tidur. Dan aku kembali naik ke jendela menatap langit berkawan angin malam.

Itulah yang aku lakukan setiap malam merenung sendiri berkawan angin.

Satu jam sebelum check-in tiket, aku sudah ada di bandara. Aku mengirim sms untuk Velony. Kukatakan aku akan ke Bali bersama Ayahku. Juga tak lupa kutelepon Ra. Kuluapkan kegembiraanku pada mereka.

“ Selamat, Syan. Sungguh aku senang mendengarnya. Hati-hati di jalan, ya…” kata Ra di telepon. Tak juga puas, ku-sms dia berulang kali, kuceritakan apapun yang ingin kuceritakan. Sampai ia bosan dan tidak membalas smsku. Dan sms terakhirnya sebelum aku check-in tiket adalah,

“ Itulah hidup, Syan. Kadang kita tidak tahu apa yang akan kita dapatkan.” Aku yakin Ra senang mendengar kabar yang aku ceritakan.

Ada bagasinya…?” Tanya petugas. Membangunkan lamunanku.

“ Cuma ini..” kuserahkan tas yang hanya berisi baju-baju dan peralatanku.

“ Mau dibawa saja atau ditaruh bagasi?” Tanya petugas itu kembali setelah melihat bawaanku yang hanya sedikit.

“ Bagasi aja..”

“ Tagnya tiga puluh ribu..” kata petugas wanita itu lagi sambil tersenyum ramah padaku. Entahlah apakah senyum itu tulus atau tidak. Yang pasti aku menikmatinya. Baru kali ini aku diperlakukan seperti itu. Aku merasa dihargai. Di ruang tunggu aku gelisah. Saat aku ingin mengetik sms untuk Ra, Ayah menelepon.

“Bagaimana Syan, kau di mana?” katanya dari seberang.

“Aku sudah berada di ruang tunggu, Yah. Pesawat akan berangkat jam tujuh malam. Telat satu jam.”

“Ya, sudah hati-hati. Ayah tunggu di Ngurah Rai. Daaag..”

“Daaag, Ayah..”

“Aku masih di ruang tunggu.” Tulisku di sms kepada Ra.

“ Kenapa kau belum berangkat?”

“ Pesawatnya telat satu jam…”

Akhirnya aku berangkat juga. Seumur hidupku, ini pertama kali aku naik pesawat. Kurasakan telingaku sakit ketika pesawat akan tinggal landas. Kulihat dari jendela lampu berjuta warna menghias Jakarta. Lama-kelamaan lampu itu mengecil seperti kerlipan kunang-kunang kemudian menghilang tertutup awan. Yah, aku berada di atas awan.

Seandainya ada Ibu ingin kukatakan pada ibuku. Ayah mengajakku terbang, bu. Tapi hati mereka terpisah. Konon belahan jiwa itu memang tak selalu harus menyatu. Dulu dalam legenda Yunani Kuno, dewa Zeus memisahkan pasangan jiwa karena dia yakin pasangan jiwa atau soulmate memiliki kekuatan yang tak terbatas.

Bodohnya aku, kenapa aku tak pernah memikirkan bagaimana kalau ia bukan ayahku. Bagaimana kalau di Bali dia tidak menjemputku? Kenapa aku percaya begitu saja? Oh, aku tidak boleh berpikir negatif. Dia sudah baik padaku. Ya, dia ayahku sudah sepantasnya dia memberikan tiket liburan pada anaknya.

“ …Terimakasih anda sudah terbang bersama kami sebentar lagi kita akan mendarat di bandara Ngurah Rai….” Suara pramugari dari mikrofonnya membangunkan lamunanku. Tuhan, sampai juga aku di Bali.

“Ayah,aku di bagasi lagi nunggu Tas.“ smsku pada ayah.

“Kutunggu di depan.” Balasnya. Aku senang sekali ia menjemputku. Kami menuju ke mobil namun sebelum masuk ke mobil, aku ingin sekali menelpon Ra.

“Aku sampai Bali…” kataku semangat pada Ra.

“Iya, Syan. Aku turut senang…”

“Nanti kalau sampai Jakarta, Syan bawain sarung Bali,ya…” tut..tut tut..sialan pulsanya habis.aaah…

“Umur kamu berapa sih?” kata ayah saat di mobil.

“Aduh masa sih ayah sendiri ga tahu umur anaknya“ kataku kesal.

“Baiklah, aku tebak ya?”

“Berapa coba..”

“Tujuh belas….?”

“Syan udah ‘lapan belas”

“Pantesan..”

“Kenapa?”

Childish, banget.” Mobil kami melaju pelan menuju kawasan perumahan real estate di Nusa Dua.

“Syan, Ra itu siapa sih?”

“Temen Syan, Yah.”

“Ketemu di mana?”

“Belum pernah ketemu.”

“Kok di telepon akrab ‘gitu?”

“Aku ketemu di internet, dia sahabat maya Syan. Dialah yang banyak bantuin Syan. Mendukung Syan saat Syan jatuh atau merasa sendiri. Dia selalu ada untuk Syan.”

“Jangan gampang percaya sama orang di Jakarta, Syan.”

“Aku lebih dulu mengenal dia sebelum aku mengenal ayah sendiri. Bahkan dia bisa menjadi ayah untuk Syan.”

“ Kenapa ga dia aja yang jadi ayah Syan” candanya.” Syan, bagaimana kau bisa bekerja di media sedangkan usiamu masih delapan belas, bukankah mereka yang kerja di koran itu harus punya pendidikan yang cukup?”

“Syan punya keterampilan. Dulu ketika Syan masih sekolah, Syan beberapa kali menang dalam lomba ilustrasi, komik, poster di majalah dan koran. Dari SMP, Syan udah belajar program design di rental. Syan belajar sendiri. Syan suka melahap buku apa pun. Karena Syan ga punya teman, Syan selalu merasa sendiri dan hanya ada ibu di rumah….” Uraiku.

Mobil kami masih melaju dan mulai memasuki kawasan Bali Hills di Nusa Dua. Jarak masuk dari jalan utama untuk sampai ke perumahan cukup jauh. Sepanjang jalan aku bisa melihat Pura dengan balutan kain kotak-kotak hitam putih yang diikat pada batu. Ada sesajen dan kemenyan.

Akhirnya sampai juga kami di sebuah rumah. Aku tak ingin tanya ini rumah siapa? Kami masuk setelah ayah membuka pintu pagar dan memarkir mobilnya. Rasanya ingin segera menghempaskan tubuhku di sofa setelah perjalanan Jakarta bali.

“Syan, kau mandi saja dulu. Ayah siapkan makan.” Setelah mandi aku duduk di meja makan dengan ayah.

“Ini ada masakan Jawa yang sengaja aku pesan untukmu. Kamu pilih sendiri mana yang kamu suka.” Selesai bicara ayah sudah sibuk dengan temannya di telepon.

“Malam ini di mana?” kata ayah berbicara dengan orang di telepon.

“Oo, Jimbaran..” katanya lagi sambil mengetuk-ngetukkan pensil ke mejanya kemudian bicara lagi.

“ Tapi aku ga bisa membawanya pulang. Aku sedang bersama adik kecil.” Katanya sambil memperhatikan makanku.

“ Bukan, dia anakku..” selesai menelepon, ayah masuk ke kamar mandi kemudian keluar dengan badan segar. Dengan aroma parfum yang wangi yang mungkin bisa membius lawan jenisnya. Kuperhatikan ayahku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia memang gagah. Bagaimana setiap perempuan tidak bertekuk lutut di bawah kakinya? Belum sempat aku bertanya kemana ia akan pergi, ayah sudah menghampiriku.

“ Syan, ayah harus ketemu teman. Selesai makan, kamu istirahat. Baru besok kita jalan-jalan, ya..” aku mengangguk, menurut saja apa yang dikatakannya.

Setelah makan, aku tertidur nyaman di kamar dengan kasur yang empuk dan selimut tebal. Kukecilkan AC. Aku mulai mengarungi mimpi indah di peraduan terindah yang nyaman.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun ketika aku mencium aroma alkhohol yang menusuk hidungku. Kubuka mataku, kudapati tubuh besar terlentang di sampingku. Mulutnya meracau, tangannya menggapai-gapai. Kutajamkan mataku untuk melihat lebih jelas karena gelap. Lampu memang sudah kumatikan.

“Ooh, Tuhan... Ayah… dia minum.” belum hilang rasa terkejutku. Ada sesuatu jatuh di ruang tamu. Segera kunyalakan lampu dan menuju ke ruang tamu. Seorang laki-laki tertelungkup di meja tamu. Di lantai tampak pecahan guci hiasan. Berantakan. Rupanya dia sudah memecahkannya.

“Haha.. Nando, kau memang hebat…bagaimana mungkin perempuan itu jatuh ke pelukanmu..” racaunya. Oh, Tuhan ternyata ayah keluar untuk main perempuan. Tidak cukupkah apa yang diberikan istrinya untuknya? Tidak puaskah dia selalu melukai perempuan? Aku kembali ke kamar untuk melihat ayah. Bagaimana pun ia adalah ayahku. Kulepas sepatu dan kemejanya kemudian menyelimutinya.

“ Haha..dasar perempuan sundal, bagaimana mungkin kau bisa puaskan aku. Haha…haha..perempuan..jahanam..” ayah terus meracau, mengucap sumpah serapah dan berbicara kotor. Aku terduduk diam di sofa.

Tuhan, benarkah ia ayahku? Kenapa begini? Saat itu juga aku mengirim sms pada Ra, aku tak peduli meskipun masih pagi buta. Kuceritakan semua yang terjadi. Tapi tak dibalas. Mungkin ia masih tidur.

Esok paginya ketika aku bangun ayah sudah dengan kemeja putihnya dan celana hitam formal duduk di meja makan dengan seorang temannya. Wajahnya tenang seperti tak terjadi apa-apa.

“ Syan, sarapan dulu?” katanya tenang. Aku turun dan duduk di antara mereka. Ayah mengambilkanku roti dan mengoleskan selai nanas dan memberikannya padaku. Sementara aku menatap mereka dengan takjub. Benarkah apa yang terjadi semalam? Kenapa mereka begitu tenang? Belum hilang rasa terkejutku, sebuah sms mengagetkan aku.

“ Syan, kau tidak boleh cengeng. Kau harus kuat. Ikuti saja kemauan ayahmu. Kadang pikiran orang tua dan anak itu memang tidak sama.. ini demi masa depan kamu juga, Ok? Aku aku akan selalu mendampingimu.” Balasan smsku pada Ra semalam. Begitu tulusnya dia menyemangatiku. Membimbingku. Siapa dia sebenarnya.. aku duduk di meja makan. Dengan roti dan olesan selai di tanganku.

“ Syan, hari ini milikmu, kau mau jalan-jalan kemana?” kata ayah padaku. Aku berusaha tenang.

“ Aku ga tahu Bali,Yah. Terserah Ayah aja mau ajak Syan kemana.” Aku,Ayah dan temannya ke pantai. Makan di restoran dan pulang dengan satu tas bungkusan besar souvenir khas Bali.

Dua hari berlalu, kami hanya bersenang-senang. Dan hari ini adalah hari terakhir kami di Bali. Aku tak bisa menikmati liburan ini sama sekali. Benakku dipenuhi beberapa pertanyaan yang selalu menggangguku. Namun kucoba untuk menyimpannya sendiri sebelum aku yakin dia benar-benar ayahku.

Pada malam terakhir kami di Bali, kulihat ayah masih ngobrol di telepon dengan temannya. Aku bisa membacanya. Sepertinya dia ngobrol dengan teman wanitanya. Kalimat terakhir yang masih terngiang di telingaku adalah.

“ Nanti kita bertemu di Jakarta…” katanya pada teman wanitanya. Aku jadi ingat apa yang dikatakan Ibu padaku. Satu ketika saat Ibu marah padaku.

“ Kau memang nakal seperti Ayahmu.” Nakal. Inikah yang dimaksud ibu? tak ada kenangan yang membekas selama aku liburan di Bali. Tapi aku semakin tahu siapa Ayahku.

Komentar

Postingan Populer