........sepenggal tentang.....

.....untuk seorang Ayah yang mencintai Anak -anaknya dan untuk seorang Ibu dengan kasih sayangnya.....

Bab 10

Kembali

Jakarta.. kenapa aku selalu kembali ke sini? Sesungguhnya apa yang aku cari di sini? Kenapa aku harus ada di sini? Aku masih di atas jendela menikmati langit malam yang terang oleh bintang. Jiwaku melayang bersama mereka. Melayang menembus ruang dan waktu. Melayang menemui ibu yang sedang sendiri, menemui Ayah yang bahagia dengan keluarganya. Membayangkan Ra. Menemui Velony. Dan becanda dengan mereka.

Terkadang jiwaku terdampar di satu sisi hidup yang membuatku teriris perih. Saat ingat bagaimana aku dipaksa berhenti bekerja. Saat aku kebingungan sendiri di belantara Jakarta yang tak pernah ramah pada anak ingusan sepertiku. Saat mendengar Ayahku menolakku. Dan saat mendengar ayahku bermain perempuan, bahkan saat mendengar ayahku sudah bahagia dengan keluarganya. Mestinya aku sudah bisa menerima dengan ikhlas. Semua kenyataan hidup yang menimpaku. Aku masih tenggelam dan berhalusinasi dengan pikiranku sendiri. Sebelum telepon berdering.

“Halo..”

“Syan..” kata Velony menyapaku di seberang.

“Lu diminta kembali di kantor.”

“Kembali? Maksudnya?”

“Gue diminta nelepon elu. Katanya ada masalah di kantor dan cuma elu yang bisa beresin masalah itu.”

“Ve, elu tau, gue udah bukan karyawan harian Skandal. Buat apa lagi, Ve? Gue udah ngalah dan rela diberhentiin dengan alasan yang ga masuk akal. Sekarang? Sekarang mereka manggil gue lagi, untuk apa? Apa mereka mau menghakimi gue lagi? Ve, gue udah capek sama mereka.”

“Sabar, Syan. Siapa tahu mereka berubah pikiran dan minta elu kerja lagi. Bagus kan? Kita bisa bareng-bareng lagi.”

“Ga. Ve, mereka ga bisa menelan ludahnya sendiri. “

“Syan, elu jangan terlalu emosi. Elu belum kerja, kan?”

“Ve, bukannya gue ga mau bersama-sama elu lagi. Tapi Ve, ini masalah prinsip. Kalo gue mau ditarik lagi. Mungkin satu saat mereka bisa mempermainkan karyawannya yang lain. Mereka bisa didepak dan saat dibutuhkan, mereka diminta datang lagi. Perusahaan macam apa itu….”

“ Syan, elu dateng aja dulu. Kalau bukan untuk mereka, lakukan untuk gue. Elu bisa kan?”

“ Ve, gue tahu elu temen gue. Tapi..tapi gue ga bisa lakukan ini.”

“ Syan, sekarang lu pikir. Elu ngganggur di Jakarta. Mungkin sebulan dua bulan elu masih bisa bertahan. Tapi tiga bulan ke depan? Gue ga yakin. Syan, gue selalu bilang elu jangan selalu dikuasai perasaan. Sekarang coba elu hadapkan diri lu pada kenyataan. Ini untuk diri lu juga…Syan, gue peduli sama lu.”

“Ve, lu ga tahu betapa sakitnya ketika gue dipecat tanpa alasan yang jelas…terus beberapa bulan kemudian mereka seenaknya memanggil gue lagi. Asal elu tahu Ve, meskipun gue kelaparan gue ga akan mengemis datang ke Harian Skandal…”

“Syan, denger, sebenernya bukan mereka yang meminta elu kembali, tapi gue yang memperjuangkanya..”

“Elu?”

“ Ya, gue.”

“Kenapa “

“Karena elu ga salah, Syan. Pak Candra sendiri juga mengakui kalau sesungguhnya elu ga salah.Komik yang mirip kejadian nyata itu emang cuma kebetulan.”

“Trus kenapa elu perjuangkan buat gue?”

“Bukan buat lu,tapi untuk persahabatan kita”

Aaku terdiam aku teringat saat bersama Velony. Dia selalu datang ke mejaku dengan cerita-ceritanya. Dia hanya percaya padaku…

“Halo..” kata Velony dari seberang takut telponnya aku tutup.

“Iya”

“Syan, jujur gue kangen elu. Saat istirahat makan siang gue selalu dateng ke tempat biasa kita makan. Di bakmi bangka. Ada rasa kosong dalam hati gue. Rasanya ada yang ga lengkap. Seperti ada yang hilang dan itu adalah elu. Gue kehilangan canda tawa kita, Syan, elu kan tau kalo gue ga punya temen di kantor. Cuma elu sahabat gue. Syan, gue mohon.” Baru kali ini kulihat Velony memohon pada seseorang baru kali ini kudengar Velony punya rasa kangen. Baru kali ini…aku jadi lemah tak berdaya mendengarnya.

“Ve, gue ga tahu apakah gue bisa lakukan ini atau ga.”

“Gue mohon, lakukan buat gue.”

“Pikirin dulu, Syan. Besok elu harus ambil keputusan. Gue tunggu.”

“Gue ga janji, Ve.”

“Gue tahu elu bisa. Gue mohon, sekali ini aja. Gue mohon.”

“Iya, Ve. Nanti dicoba,ya?”

“Ya udah, Syan. Gue udah ngantuk nih..sampai besok di kantor. Daaag.. . Syan.”

“Daaag..Ve..” aku tidak mengerti dengan semua ini. Baiklah, mungkin aku akan datang tapi bukan untuk kembali. Aku datang untuk Ve. Aku tidak ingin dia kecewa.

Pukul satu siang aku baru bangun dari tidurku. Sudah menjadi kebiasaanku aku tidur larut dan bangun di siang bolong. Kata orang-orang tua kalau kita bangun siang rejekinya dipatok ayam.. haha…aku jadi ketawa.

Hey, bukankah aku harus ke kantor? Mungkin Ve sudah menungguku dari tadi. Kulihat di handphoneku ada tiga panggilan tak terjawab. Aku segera bergegas mandi dan siap berangkat. Ada keraguan di hatiku ketika aku sampai di pelataran kantor harian Skandal. Tapi aku harus datang. Biarlah kuikuti saja apa mau mereka. Aku masuk ke dalam dan langsung naik ke lantai dua. Kulihat meja kerjaku masih kosong. Ada perasaan aneh tiba-tiba merasuk dalam hatiku. Rasa kangen untuk duduk kembali kursi itu. Dari situlah aku mengeluarkan ide-ide untuk disampaikan pada semua orang dari situ pulalah sumber malapetaka itu terjadi. Dari dari meja itulah aku dituduh bisa merubah takdir orang-orang di kantor.

Haha..ha.. aku mencoba tertawa mengingkari semua yang pernah terjadi meskipun sesungguhnya memang aneh. Meski sesungguhnya komik itu memang merubah takdir. Ah, aku jadi merinding saat melihat bekas meja kerjaku sendiri, entah halusinasiku atau memang nyata. Tiba-tiba sesuatu melintas dan menghilang di tempat biasa aku mengerjakan tugasku. Seperti bayangan putih lembut menyapu tempat itu kemudian menghilang.

Kuedarkan pandanganku ke kamar mandi tepat di belakang bekas meja kerjaku. Aku bisa merasakannya seperti ada sesuatu yang menarik pikiranku ke sana. Menarik untuk memikirkanya. Menarik untuk masuk ke dunianya dunia lain, yang tak pernah bisa aku pahami.

Pintu kamar mandi itu bisa aku tembus dengan mataku. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Seorang perempuan kesakitan disiksa oleh seorang pria. Wajah perempuan itu dibenamkan pada kloset. Kemudian lehernya diikat dan digantung tepat di atas kloset dengan dengan lidah menjulur dan wajah penuh luka. Kemudian laki-laki itu menyeret permpuan itu ke belakang rumah dan menguburkannya di sana. Laki-laki itu bergegas ke garasi mobil dan mengeluarkan mobil lalu melaju kencang menabrak mobil lain yang melintas di depan rumahnya. Kejadian itu sekejap menghilang kemudian di mataku melintas perempuan cantik lembut tersenyum padaku. Seolah mengatakan. Katakan peristiwa ini pada mereka.

Aku terbangun ketika bau minyak kayu putih menyengat hidungku. Oh, Tuhan. Ternyata aku pingsan dan dikelilingi banyak orang di kantor. Kurasakan tubuhku dibopong dibawa ke kamar wartawan.

“ Keluar semua. Biar dia bisa istirahat.” Kata Pak Candra pada orang-orang yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku. Pak Candra duduk di sampingku dan memegang keningku. ” Tadi Syan sudah makan?” katanya. Aku hanya mengangguk pimpinan perusahaan itu terlihat bingung. Seperti ada yang tertahan yang ingin dikatakannya padaku. Mungkin karena kondisiku dia tidak ingin mengatakanya dulu.

“Saya tidak apa-apa kok, Pak.” Kataku meyakinkan. Pak Candra tersenyum kecil.

“Benar, kamu tidak apa-apa?” Ucapnya memastikan bahwa aku siap mendengar apa yang ingin diceritakannya padaku.

“Syan, atas nama perusahaan dan atas nama pribadi juga, kami meminta maaf atas keputusan kami beberapa bulan yang lalu. Memang sesungguhnya kau tak pernah melakukan kesalahan. Pekerjaanmu bagus dan memang waktu itu seharusnya kami tidak memberhentikanmu. Tapi, Syan kau tahu sendiri kondisi di kantor waktu itu, banyak masalah yang mengharuskan kami untuk mengambil tindakan. Tapi sekali lagi Bapak katakan, kau sesungguhnya tidak salah dan kami sangat menyesal sudah memberhentikan kamu “ sejenak Pak Candra diam dan menatapku.

“Syan, jika kau mau kau boleh kembali lagi bekerja. Sebagai tanda penyesalan kami akan naikkan gajimu.” Aku masih diam, masih terngiang kejadian yang baru saja aku alami.

“Bagaimana, Syan?” tanyanya, kuperhatikan laki-laki setengah baya itu. Matanya masih tertuju padaku seperti menunggu jawabanku.

“Nanti saya pikirkan, Pak.”

“Iya, Syan. Kami berharap kamu mau bergabung lagi bersama kami.”

“Maaf pak untuk apa saya diminta datang ke sini?”

“Syan, pertama kami sangat menyesal atas apa yang telah kami lakukan padamu…kedua kami meminta bantuanmu..”

“Bantuan apa, Pak?”

“Syan, semenjak kami memberhentikan kamu. Banyak kejadian aneh di kantor ini, kami sudah banyak melakukan berbagai cara. Untuk menyelesaikannya tapi tak ada perubahan. Terakhir kami memanggil paranormal yang kami datangkan khusus dari Yogya. Paranormal itu mengatakan bahwa hanya kau yang mampu menyelesaikan masalah ini.” Aku paham dengan apa yang diceritakan Pak Candra. Memang ada hawa aneh di kantor ini.

“Masalah apa, Pak?” kataku meyakinkan.

“Kukira kau sudah mengerti tentang gangguan-gangguan yang terjadi di kantor ini. Banyak karyawan yang ketakutan dan memutuskan untuk berhenti kerja. Di tengah-tengah kesibukan dan deadline ada beberapa karyawan yang tiba-tiba menjerit melihat makhluk halus berwujud perempuan yang muncul dari tampilan komputernya. Dan seketika itu juga semua file-filenya hilang terhapus.”

“Pak, mungkin itu hanya halusinasi saja karena mereka sudah kelelahan dan file yang hilang itu mungkin komputernya memang kena virus.”

“Bukan, Syan. Tiap hari Velony mengecek semua komputer sebelum digunakan lagi pula kejadiannya bukan itu saja. Kerap kali di tengah malam saat redaktur mengedit naskah mereka mendengar rintihan dan tangisan di kamar mandi tepat di belakang meja kerja kamu”

“Lalu apa hubunganya dengan saya, Pak?”

“Saya tidak tahu, Syan. Paranormal itu mengatakan hanya kamu yang bisa menghentikan ini semua. Mungkin juga karena kami sudah banyak salah padamu.”

“Ga, ada yang salah, Pak. Saya mengerti dengan keadaan di kantor ini.”

“Kamu ga usah bangun” katanya ketika aku mencoba untuk bangun dan duduk.

“Saya ga ‘papa kok, Pak.”

“Ok, Syan. Sekarang apa yang harus saya lakukan?”

“Sebenarnya saya sendiri ga tahu apa yang bisa saya bantu. Tapi karena Bapak minta saran saya, baiklah. Menurut saya, kita harus lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Tuhan memberi cobaan karena Tuhan sayang pada hambaNya. Mungkin ada khilaf yang tidak kita sadari hingga hal ini bisa terjadi.”

“Itu benar, Syan, tapi?”

“Tapi apa, Pak?”

“Bagaimana menghentikan semua ini?” Aku terdiam seketika jiwaku melayang. Semua kejadian ganjil itu satu persatu melintas di mataku. Mulai dari pertemuanku dengan makhluk aneh bersayap itu hingga peristiwa di kamar mandi yang terlihat dalam pingsanku serta yang baru saja terjadi. Kuceritakan semua pada Pak Candra.

“Mungkin itu jawabannya, Syan?”

“Maksud Bapak?”

“Nanti biar aku minta orang untuk menggali tanah di belakang kantor ini. Dan jika benar di situ ada mayat yang dikuburkan, kita pindahkan dan kuburkan dengan semestinya.” Baru saja Pak Candra selesai bicara, ada yang mengetuk pintu kamar.

“Iya, silakan masuk.” dari luar terlihat Pak Edward bersama dengan orang yang kira-kira sudah berumur lima puluh tahunan. Menilik penampilannya yang sederhana o-rang itu sepertinya orang biasa. Inikah paranormal yang diceritakan itu?

“Pak Candra, ini Pak Beni. Orang kampung sini yang tahu banyak tentang tanah sebelum kantor ini dibangun” kata Pak Edward.

“Selamat datang, Pak. Pak Beni, ya? Saya Candra, Pak.” Pak Candra menyalami orang itu dan mempersilakan duduk.

“Baiklah, Bapak bisa menceritakan tentang tempat ini sebelum kantor ini dibangun.?”

“Dulu tempat ini adalah rumah besar dan saya jadi pembantu di rumah itu.” orang itu memulai ceritanya.

“Dulu di sini tinggal sepasang suami istri. Mereka hidup bahagia. Namun setelah beberapa tahun menikah. Mereka tidak dikaruniai anak. Sejak itu, pertengkaran tak bisa mereka hindarkan. Belakangan diketahui bahwa suaminya memiliki kekasih untuk mencari keturunan. Istrinya yang masih cantik pun tidak mau kalah. Ia juga mulai mencari laki-laki sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan suaminya. Keluarga itu pun hancur. Karena tidak tahan mendengar pertengkaran mereka, saya minta berhenti bekerja. Sebulan setelah saya berhenti bekerja, saya dengar suaminya kecelakaan tepat di depan rumahnya. Istrinya belum diketahui ada di mana.”

“ Syan, berarti benar apa yang kau lihat dalam pingsanmu. Mungkin istri suami itu dikuburkan di belakang rumah itu berarti di belakang kantor ini.” Kata Pak Candra.

“Kejadian itu kapan, Pak?” Tanya Pak Candra pada Pak Beni.

“Sekitar dua tahun yang lalu.”

“Besok kita lakukan penggalian di belakang kantor ini. Mudah-mudahan ini bisa membantu, untuk menenangkan keadaan di kantor.” Ucap Pak Candra. Dan benar, setelah dilakukan penggalian di belakang kantor, ditemukan mayat perempuan yang sudah tinggal tulang belulang. Mayat itu kemudian dikuburkan dengan semestinya di pemakaman dan diurus oleh keluarganya. Kisah yang terjadi mungkin hampir sama dengan apa yang terjadi dengan kisah ayahku bedanya laki-laki itu selingkuh untuk mendapatkan keturunan tapi ayahku selingkuh dengan ibu bukan untuk mendapat keturunan mungkin hanya untuk bersenang-senang. Mungkin jika di antara Ayah, istrinya atau Ibu ada yang kurang sabar dan tidak bisa menerima satu sama lain mungkin bisa jadi kejadianya bisa sama. Mungkin mereka bisa juga saling bunuh. Ah, mengerikan.

Pelan-pelan keadaan di kantor mulai tenang. Setelah beberapa minggu aku dipanggil lagi ke kantor itu.

“Syan, terimakasih kau sudah memecahkan misteri ini.”

“Bukan, Pak. Bukan saya, bahkan saya tidak melakukan apa pun.”

“Sekarang bagaimana, apakah kau mau kembali bekerja lagi?”

“Maaf, Pak. Saya menghargai apa yang Bapak tawarkan pada saya. Tapi saya sudah terlanjur keluar, apa kata mereka kalau aku kembali lagi di sini?”

“Mereka juga menginginkanmu kembali bekerja lagi.” Aku hanya diam, kutatap wajah Pak Candra ada kesungguhan di sana. Entahlah bukan aku tidak mau kembali. Sepertinya aku ingin istirahat dulu. Atau mungkin aku akan mencari pekerjaan lain yang lebih tenang karena ketenangan hati lebih penting dari pada gaji yang mungkin dinaikkan kalau aku kembali.

Entahlah, aku yakin saja kalau satu saat aku akan mendapatkan pekerjaanku lagi. Meski tidak di sini. Aku juga ingin lepas dari semua misteri yang menggangguku. Aku tak ingin bertemu makhluk aneh itu. Aku lelah. Aku harus menghadapi masalahku sendiri. Aku tidak ingin lagi karya yang aku buat merepotkan banyak orang. Aku harus mengakhirinya, mengakhiri semua ini.

“Pak Candra, terimakasih atas kepercayaan Bapak pada saya. Saya senang bisa melihat kantor ini tenang kembali. Meski saya tidak bisa bersama-sama lagi di sini. Terimakasih untuk semuanya.”

“Kamilah yang semestinya berterima kasih padamu, Syan. Lalu kamu mau ke mana jika tidak kerja?”

“Saya tidak tahu, Pak. Mungkin untuk sementara, saya ingin istirahat dulu untuk menenangkan hati.”

“Baiklah, Syan. Terima kasih untuk semuanya. Maafkan kami. Saya yakin dengan kejujuranmu kamu akan mendapatkan tempat yang lebih baik dari tempat ini.”

“Terimakasih, Pak. Mudah-mudahan.” aku keluar dari ruangan Pak Candra dengan langkah pasti. Aku harus cepat-cepat pergi sebelum aku bertemu Velony aku takut melihat wajah Velony yang sedih karena aku tak bisa bersamanya. Aku takut menorehkan luka di hatinya. Sampai di kamar kost, kuhempaskan semua bebanku di kasur. Dan aku segera terlelap mengarungi mimpi yang indah.

Aku tak peduli aku terus menggambarnya dengan jiwaku. Mulai kususun warna-warni pelangiku dan warna itu tak menjadi indah tapi kelabu sekalabu hatiku.

Bab 11

Hidup Bagai Pelangi

Seperti biasa, hari-hari yang kulalui adalah mencari pekerjaan. Sebulan telah berlalu, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang tunjangan yang diberikan ayah mulai menipis. Saat aku menelponnya, ia ada di luar kota.

“Syan kamu punya rekening? Biar ayah transfer uang untuk keperluanmu. Ayah sangat sibuk dan ayah tak selalu ada di rumah.” katanya di telepon.

“Syan ga punya rekening, Yah.”

“Baiklah, minggu depan Ayah baru bisa menemuimu. Kau cukup-cukupkan dulu uang yang ada. Sementara kamu ga usah melamar pekerjaan dulu.

“Baiklah, Yah, “ jawabku lemah.

“Ya sudah, kamu baik-baik ya di kost. Sampai minggu depan…daaggg, Syan.”

“Daaag, ayah.” Ayah menutup teleponnya. Aku masih terpaku bingung. Kukeluarkan dompetku dan membongkar semua isinya. Tinggal seratus lima puluh dua ribu rupiah. Aku harus bisa hidup dengan uang ini selama seminggu. Kulemparkan dompetku ke kasur, kuambil rokok dan mulai menyalakannya. Entah sejak kapan aku mulai merokok. Mungkin sejak banyak masalah yang menderaku dan dan tak ada seseorang untukku berbagi. Kecuali Ra untuk berbagi hati dengan Ra pun aku harus datang ke warnet atau menelepon ke handphonenya. Akhir-akhir ini aku tak lagi mampu menulis e-mail. Atau menelepon Ra.

Tuhan, betapa lemahnya aku. Untuk membunuh waktu kucoba mengambil kertas dan mencorat-coretnya menjadi sebuah sketsa coretan yang mungkin tidak pernah bisa dipahami orang lain.

Aku ingin melukis pelangi. Aku ingin hidupku bisa secerah pelangi, aku ingin hidupku penuh warna seperti pelangi. Namun aku kehabisan cat untuk mewarnai pelangiku. Dan pelangi yang kulukis menjadi pucat, sepucat hidupku. Aku tak peduli aku terus menggambarnya dengan jiwaku. Mulai kususun warna-warni pelangiku dan warna itu tak menjadi indah tapi kelabu sekalabu hatiku.

Seminggu kemudian ayah menepati janjinya. Dia datang menjemputku dan membawaku ke sebuah tempat makan. Seperti biasa dia mengajakku ngobrol. Dia selalu menanyakan

“Bagaimana harimu?” meskipun ia tahu hariku kelabu tapi ia selalu menanyakannya.

“Syan…” katanya.

“Ayah tak selalu ada di sini. Ayah harap Syan mengerti. Ayah punya keluarga, punya banyak urusan. Ayah takut tidak bisa memperhatikanmu. Syan, ayah ingin tanya tolong Syan jawab.”

“Tanya apa, Ayah?”

“Apakah kau akan terus bertahan di Jakarta?” Aku terdiam, aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kenyataan sampai sekarang aku tak juga mendapatkan pekerjaan. Sekilas aku ingat apa yang dituliskan Ra untukku. Bahwa aku tidak boleh menyerah, aku tidak boleh cengeng dan aku harus bisa, entah bisa apa? Paling tidak aku harus bisa mandiri.

“Ya, aku akan bertahan di sini, Ayah.” Jawabku mantap.

“Untuk apa?” Tanya Ayah.

“ Entahlah, mungkin untuk pekerjaan, mungkin juga untuk kasih sayang Ayah yang tak pernah Syan dapatkan sejak kecil.” Ayah terdiam sebelum berucap.

“Sekali lagi maafkan ayah, Syan. Ayah tak bisa membahagiakanmu. Ayah menghargai keputusanmu tapi sekali lagi ayah tak bisa menjagamu kalau kau tetap di tempat kost ini. Jika kau mau untuk sementara kau bisa tinggal di rumah Ayah. Sampai kau mendapatkan pekerjaanmu lagi.”

“Tapi bagaimana dengan istri Ayah? Bagaimana dengan anak-anak Ayah? Apakah mereka bisa menerimaku?”

“Syan, berat mengatakan ini padamu. Tapi jika kau mau bertahan selalu ada jalan.”

“Jalan?”

“Kau bisa tinggal di rumahku dengan berpura-pura jadi sopir atau pembantu Ayah. Kau sanggup, Syan?” tegasnya. Ucapan itu seperti sembilu yang mengoyak bagian dalam hatiku. Betapa teganya seorang ayah mengatakan itu pada anaknya. Kucoba menenangkan diri agar bisa berpikir positif seperti yang selalu dituliskan Ra dalam e-mailnya. Mungkin juga ia bukan Ayahku. Baiklah, kuterima saja tawarannya. Dari pada aku tidak bisa bertahan.

“Baiklah kuterima tawaran Ayah “

“Nah gitu dong. Itu baru anak Ayah. Sekarang kau kemasi barang-barangmu ke mobil”

“Tapi, ‘Yah?”

“Apa lagi?”

“Syan takut.?”

“Takut kenapa?”

“Entahlah, Syan takut mengganggu kehidupan keluarga Ayah.”

“Kau tidak akan mengganggu Syan selama kau mengikuti aturan yang ada.” Aku masih ragu dengan yang ditawarkan ayah padaku. Aku diam mencoba untuk berpikir namun tak bisa.

“Ayah, apakah tidak ada jalan lain?”

“Sudah kukatakan, Syan. Kalau kau tetap kost, Ayah tidak bisa selalu datang menemuimu.”

“Tidak bisakah ayah sedikit berkorban untuk Syan? Syan juga anak Ayah. Tak bisakah Ayah mencintai Syan tanpa harus tinggal bersama keluarga Ayah? Oh, maafkan Syan, Ayah. Syan terlalu banyak berharap.”

“Tidak apa-apa syan Ayah yang salah.” Kuperhatikan dari dahinya yang berkerut, ayah seperti berpikir. Sebelum kembali bicara.

“Syan, Ayah tidak punya waktu lagi, segera kau kemasi barang-barangmu ke mobil.”

“Yah, tolong. Beri waktu Syan untuk berpikir.”

“Syan, Ayah sudah baik padamu, apalagi yang kau tunggu.” Oh, Tuhan, jika dia Ayahku kenapa ia menghitung kebaikannya? Inikah Ayahku?

“Ayah, Syan ingin tetap di sini.”

“Kamu itu bandel seperti ibumu. Kalau kamu tetap di sini Ayah tak akan berikan apa-apa untukmu.”

“Baikalah, kalau Ayah tega, lakukan saja. Biar Syan mati kelaparan di sini. Nanti kalau Syan mati, Syan akan minta mayat Syan dikirim ke alamat Ayah.”

“Tenang, Syan. Maksud ayah mengajak kamu ke rumah, agar Ayah bisa melihat kamu setiap saat agar ayah bisa memastikan bahwa kamu sehat. Makan cukup dan tidak takut dengan hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin bisa menimpamu.”

“Tapi kenapa Syan harus berpura-pura jadi sopir dan pembantu? Kenapa kau setega itu, Yah? Apakah karena Syan anak haram? Anak yang tak pantas mendapatkan cinta kasih seperti anak-anak Ayah? Jika dulu boleh kupinta pada Tuhan, Syan juga tidak ingin dilahirkan menjadi anak haram. Asal ayah tahu ini juga bukan yang Syan mau. Kalau Ayah tidak selingkuh dengan Ibu, Syan ga akan lahir dan hal ini ga akan terjadi.” uraiku emosi. Dadaku sesak. Ingin rasanya aku menumpahkan semua yang aku rasakan pada laki-laki setengah baya yang ada di depanku itu. Ingin aku menunjukkan bahwa aku juga tak beda seperti anak-anaknya yang lain.

“Syan, kau tidak tahu posisi ayah seperti apa?” ucapnya tenang. Ada kesedihan dari wajahnya. Aku jadi menyesal atas ucapanku. Aku tahu aku sudah melukainya. Namun kadang Ayah perlu rasa sakit untuk membuat ia sadar bahwa aku juga anaknya.

“Syan, coba tatap mata Ayah. Syan percaya kan sama Ayah?”

“Ok, Ayah. Syan mau jadi sopir ayah. Syan rela jadi pembantu Ayah. Tapi apakah ayah tidak memikirkan bahwa Syan bisa terluka jika melihat keluarga Ayah?”

“Sekali lagi maafkan Ayah, Syan. Kau memang anak Palupi tapi belum tentu kau adalah anakku.” Sekali lagi laki-laki di depanku itu kembali menghantam bagian dalam dari hatiku hingga luluh lantak tak berdaya. Belum hilang rasa sesakku laki-laki itu kembali berucap.

“Asal kau tahu, Syan, aku lakukan ini karena kau anak Palupi. Bukan karena kau anakku. Karena bagaimanapun juga dulu aku pernah mencintai ibumu. Tolong jangan buat aku marah dan berubah pikiran. Sekarang katakan, kau mau ikut aku atau kau akan kelaparan di tempat ini?” Aku terpaku, ada sesuatu yang memaksa keluar dari mataku. Kutelan ludahku beberapa kali untuk menahannya. Aku tidak ingin kelihatan lemah di depan laki-laki itu. Namun pandanganku sedikit kabur dan kurasakan sesuatu sudah mengalir dari mataku melewati bukit kecil di pipiku.

“Jangan cengeng ... laki-laki menangis” Ucapan itu sama persis dengan apa yang dikatakan Ra dalam SMS juga e-mailnya. Jangan-jangan Ra itu dia? Laki-laki itu terduduk menungguku mampu bicara kembali. Tapi aku tak mampu mengucap sepatah katapun.

“Baiklah, Syan.” katanya lebih tenang, “Kau coba dulu seminggu dua minggu. Kalau kau tidak betah, ayah akan kembalikan kamu ke sini.” sambil mengusap-usap rambutku. Entah kenapa hatiku jadi tenang mendengarnya dan entah kenapa hatiku menyerah.

“Baiklah, Syan ikut Ayah.”

“Nah, gitu dong. Ayo ayah bantu.” Kemasi barang-barang kamu.” Aku mengangguk. Laki-laki itu tersenyum kecil. Ia membuka lemari dan mengeluarkan semua isinya.

“Syan, buku-buku kamu banyak sekali.” Ucapnya sambil menumpuk buku-buku koleksiku.

“Buku-buku itu temen Syan kok Yah. Syan ga punya temen” tak bisa kupungkiri hatiku menjadi senang ketika laki-laki itu dengan semangat mengangkat barang-barangku ke mobilnya. Ia seperti seorang Ayah yang melakukan sesuatu untuk anaknya. Aku sendiri segera mengemasi baju-bajuku.

“Ini buku apa, Syan?” katanya, sambil menunjukkan buku berjudul Stories for A Dad’s Heart. Laki-laki itu membuka halaman demi halaman buku itu seperti hendak membacanya namun ada sesuatu yang terselip di antara halaman buku itu laki-laki itu mengambilnya dan menatapnya .

“Kau menyimpannya, Syan?”

“Iya, itu foto ibu dan pacarnya, foto itu kutemukan di buku harian ibu. Menurut tulisan di buku itu, yang di foto itu adalah ayahku.”

“Yang di foto ini aku, Syan. Aku dan ibumu.” Ada kesedihan yang tiba-tiba tergambar di air mukanya kemudian ia mencoba tersenyum seperti melawan kenangan masa lalunya.

“Ayo, kita angkut semua.” katanya mencoba mengalihkan kesedihan di hatinya. Tanpa kesulitan yang berarti barang-barangku sudah terangkut ke dalam mobil.

“Waduh, Syan. Ayah capek.”

“Syan juga, Yah”

“Sebenarnya hari ini Ayah ada urusan tapi biarlah, Ayah ingin istirahat sejenak. Bagaimana kalau kita tidur-tiduran di kamarmu. Sambil kita berbagi cerita tentang pengalaman-pengalamanmu. Tentang Ibumu mungkin atau tentang apa saja. Syan juga boleh tanya apapun tentang Ayah.” senang sekali aku mendengarnya, berarti hari ini aku akan menghabiskan waktuku dengan Ayah.

“O ya, Syan, ambilkan soft drink di mobil. Kita ngobrol di kamarmu sambil istirahat.”

“Ok, Ayah.” aku segera berlari ke mobil dan segera kembali dengan sebotol besar soft drink dan biskuit. Tanpa diminta, kubuka botol itu dan menuangkannya untuk Ayah.

“Kita bersulang.” Candaku

“Baiklah Tuan muda bagaimana kalau kita membuat permainan?”

“Permainan?” Tanyaku tak mengerti.

“Ya, permainan. Setiap kita minum satu gelas kita harus mengakui hal memalukan yang pernah terjadi pada hidup kita.

“Baik, Yang Mulia. Tuan muda tidak berkeberatan.”

“Ok, sekarang kita mulai dari Ayah. Ayah dulu yang minum.” Ayah segera menenggak minumannya dan berucap,

“Aku pernah jatuh cinta dan bertekuk lutut dengan sekretarisku, padahal aku telah berdua tapi aku tak kuasa menolak semua.” ucapnya jujur. Aku tahu yang dimaksud ayah adalah Ibu. Sekarang giliranku setelah menenggak minuman di gelas itu aku membuat pengakuan.

“Aku pernah ditaksir seorang cewek, tapi aku tak memiliki keberanian.” Tiba-tiba Ayah tertawa mendengarnya.

“Ha…ha… kau pengecut, Syan. Kau kebalikan dengan Ayah. Bagaimana seorang play boy sepertiku memiliki anak yang tidak memiliki keberanian sepertimu….ha…ha..”

“Ok, sekarang giliran Ayah.” Ayah menenggak minumannya dan berucap,

“Kurasa akulah orang yang paling pengecut di dunia ini, aku pernah mengingkari dan meninggalkan seseorang yang sesungguhnya sangat aku cintai.” Katanya penuh emosi. Dan aku berusaha menertawakan Ayah meskipun sesungguhnya dalam hati kami menangis. Karena sesungguhnya kami sedang mengungkapkan keburukan-keburukan kami sendiri.

“Sudahlah, Syan. Kita hentikan saja permainan ini Ayah merasa tidak enak.”

“Syan juga, Yah.” Ayah menaruh gelasnya dan menutup botol itu sekaligus menutup permainan kami.

“Syan, kapan kita bisa bertemu ibumu?”

“Apakah itu perlu, Ayah?”

“Maksud Syan?”

“Syan tidak tahu apakah kehadiran ayah bisa membuat ibu bahagia atau justru sebaliknya.”

“Itulah, Syan. Ayah tidak tahu. Ayah hanya ingin melihat ibumu itu saja.” ucapnya lirih. Aku diam aku mengerti apa yang dirasakan Ayah…

“Baiklah, Syan. Kita lupakan sejenak dulu masalah ini.” Ayah menghela nafasnya seakan ingin membuang semua yang menyesakkan dadanya. Direbahkannya tubuhnya yang besar di kasurku. Kemejanya yang putih tampak bernoda karena sudah melakukan tugas mengangkut barang-barangku.

“Yah, Ayah sebaiknya mandi dulu biar agak segeran.”

“Kamu sajalah. Syan duluan. Ayah keringkan keringat dulu.” Kubiarkan dia rebahan di kasurku sementara aku segera beranjak ke kamar mandi. Begitu selesai mandi, Ayah sudah terlelap. Mungkin kelelahan. Pelan-pelan kulepaskan sepatunya dan menaikkan kakinya yang sebelah turun ke bawah, ke tempat tidur. Kuperhatikan tidurnya begitu tenang seperti orang yang tanpa dosa.

Laki-laki ini pernah mencintai ibu dan sudah menghadirkanku ke dunia. Laki-laki ini juga pernah membuat ibu menderita. Salahkah ia? Kenapa aku selalu berharap dan menuntutnya untuk hidup bersama kami? Aku tahu itu tidak mungkin tapi kenapa aku selalu memaksanya? Salahkah aku? Lalu bagaimana keluarganya jika mereka dalam posisiku dan aku jadi mereka? Tentu aku juga tidak ingin Ayahku direbut oleh orang lain.

Yah, aku adalah orang lain bagi mereka. Ibu selalu menekankan bahwa semua orang itu dilahirkan sama. Tapi kenapa aku tidak memiliki hak yang sama? Kenapa aku kecil, tidak memiliki laki-laki ini sebagai tempatku berlindung. Kenapa mereka merebutnya? Bukan, bukan mereka yang merebutnya. Memang akulah yang tidak memiliki hak atas Ayahku. Tapi kenapa Tuhan tidak menciptakan hak yang sama atas manusia yang diciptakanNya.. kenapa Tuhan jahat padaku. Kenapa…? Kenapa aku menyalahkan Tuhan? Ra selalu tanamkan bahwa seharusnya tidak menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini.

Entahlah, aku sendiri tidak mengerti dengan hidup ini. Aku selalu berpikir bahwa Tuhan tidak adil padaku. Bahwa Tuhan jahat padaku. Kelak kau akan mengerti betapa Maha Adilnya Tuhan, kata Ra satu ketika di teleponnya. Ucapan itulah yang aku pegang sampai saat ini. Namun sampai saat inipun aku tak jua merasakan Adilnya Tuhan. Justru Tuhan selalu memberiku cobaan yang di luar kemampuanku. Ra pun pernah mengatakan kalau kita di beri cobaan yang besar itu artinya Tuhan percaya pada kita bahwa kita mampu untuk menghadapinya.

Entahlah, tapi aku selalu mengeluh mungkin pikiranku belum sampai pada tahap itu. Aku masih terduduk di samping ayah yang sedang lelap tertidur. Kusenderkan tubuhku pada lemari di belakangku. Mataku tak henti-hentinya memperhatikan nafas ayah yang teratur dan mataku pun sendiri terasa berat.

Tiba-tiba aku merasa melayang membumbung menembus ruang dan waktu. Melayang tinggi menembus awan tinggi dan tinggi sampai kutemukan diriku sudah berdiri di depan makhluk yang pernah aku temui waktu itu. Makhluk bersayap itu tersenyum kecil padaku.

“Kau sudah melakukan tugas dengan baik…”

“Tolong lepaskan aku, aku bukan orang suci. Aku sudah banyak masalah. Kumohon, aku tak ingin terlibat lagi dengan semua ini.”

“Tenang, Syan. Aku takkan menemuimu lagi. Aku menemuimu karena ada yang harus kusampaikan. Syan, kau jangan pernah takut dengan semua kejadian dalam hidupmu. Sesungguhnya jiwa yang kecil memikul beban kecil. Dan jiwa yang besar memikul beban yang besar juga. Jadi jika Tuhan mengujimu dengan cobaan yang besar itu berarti kau sedang mengalami pertumbuhan spiritual untuk menjadi lebih kuat dalam hal rohani.

Syan, jika kau berjalan lurus tapi hidupmu terasa sangat menderita itu berarti kau sedang didorong menuju ke arah lain. Seperti kejadian yang kau alami dalam pekerjaanmu. Bersabarlah, saatnya nanti kau akan mendapatkan tempat yang lebih nyaman yang tak pernah kau kira. Kalau kau sanggup melewati semua cobaan ini.

Terang, cinta, kekuatan dan kejernihan datang dari hubungan spiritual yang kuat. Kau temui orang yang paling kau percaya maka kau akan menemukan apa yang kau cari selama ini.” makhluk aneh itu menghilang dan kutemukan diriku masih bersandar di lemari pakaianku. Sementara kulihat Ayah masih lelap dengan mimpinya. Kulihat jam di tanganku sudah hampir jam enam sore. Sudah hampir maghrib. Lelap sekali Ayah tertidur. Aku bingung, kubangunkan atau tidak. Kucoba menyentuh lengannya dan menggoyang-goyangkannya tapi ia bergeming.

“Yah, bangun sudah sore.”

“Aaah…” Ayah menguap seperti beruang sebelum membuka matanya.

“Sekarang jam berapa, Syan?”

“Jam enam, Yah..” Ayah masih terbaring malas-malasan menatap langit-langit kamarku.

“Di sini nyaman juga, Syan. Tak pernah Ayah bisa tidur siang sepanjang ini.”

“Ayah mandi dulu. Bau asem nih. Hihi…” candaku, Ayah menarik tubuhku ke pelukannya.

“Ga mau. Bau..jorok…” kami tertawa-tawa.. sebelum Ayah ke kamar mandi. Setelah semua beres aku pamit pada ibu kost dan kami melaju menuju rumah Ayah.

memasuki rumah besar itu seperti memasuki tempat jagal yang siap memotong dan mengulitiku hidup-hidup.

Bab 12

Tinggal di Rumah Ayah

Ada perasaan tak menentu saat kami mulai memasuki kawasan perumahan. Mobil Avanza itu berhenti di sebuah rumah besar yang mungkin cukup nyaman untuk tempat tinggal sebuah keluarga yang bahagia. Rumah dengan pagar teralis dan taman yang luas itu terasa menakutkan buat aku entahlah. Ada perasaan hampa ketika aku memasuki halaman rumah itu. Mungkin akan terjadi sesuatu di sini. Kubayangkan istri ayah yang judes dan anak-anak ayah yang manja. Kubayangkan mereka menginjak-injak harga diriku. Menyuruhku bekerja seperti binatang dan memamerkan kebahagiaan mereka di depan mataku karena aku akan jadi pembantu di rumah ini. Tiba-tiba ada keraguan yang menyeruak di hatiku. Rasa hampa seketika memenuhi dadaku, membuat tubuhku lemah tak berdaya.

“ Yah, Syan takut.” Ayah menatapku dan tersenyum kecil kemudian memegang pundakku.

“Apa yang kau takutkan, Syan? Ayah takkan menyakitimu.” Kutatap mata dengan kerutan-kerutan di sudutnya. Mata itu seperti elang yang hendak mencengkeram semua keraguanku di hatiku.

“ Yah, katakan padaku, jika aku tidak bisa tinggal di sini kembalikan aku di tempat kostku lagi.” Ayah hanya menggangguk.

“Sudah, sekarang kita turun.” Katanya dan aku mengikuti saja apa yang dikatakannya. Setelah kami turun, Ayah memanggil seseorang yang mungkin pembantu di rumah itu.

“Kau bawa barang-barang di mobil itu ke kamar atas. “ kata Ayah pada seorang laki-laki kurus dengan rambut ikal sedikit gondrong.

“Baik, Pak.” Kata laki-laki itu. Aku mengikuti Ayah di belakang, memasuki rumah besar itu seperti memasuki tempat jagal yang siap memotong dan mengulitiku hidup-hidup. Kami naik ke tangga dan sampailah di sebuah kamar.

“Syan, ini kamarmu. Kau mandi kemudian istirahat. Besok pagi ayah kenalkan dengan keluarga Ayah. Kakak-kakak, dan adik kamu. Juga istri ayah.”

“Kakak, adaik…” oh Tuhan, kenapa aku harus ke sini?

“Kenapa bengong, ayo masuk. Ayah juga mau istirahat. “ tanpa pikir panjang aku mengikuti apa yang ayah katakan.

“Ok, Syan beranikan sendiri. Kalau mau makan, atau butuh apa-apa panggil saja Iyem. Ayah turun dulu, ayah juga ingin istirahat.” Aku hanya mengangguk. Setelah Ayah turun, kuhempaskan tubuh lelahku ke kasur spring bed yang jauh lebih empuk dari kasur di tempat kostku.

Aku segera bangun kubuka jendela lebar-lebar untuk menikmati bintang-bintang seperti yang selalu aku lakukan di tempat kostku. Bedanya aku tak bisa naik ke atas jendela.

Kutatap langit gelap, tak ada satu bintang pun untukku. Mendung yang menggantung dan petir yang menyambar-nyambar. Seperti ketakutanku. Entahlah apa jadinya besok kalau aku bertemu dengan keluarga Ayah.

Aku kembali ke tempat tidur dan mencoba untuk memejamkan mata namun...uf, sialan aku tak sanggup memejamkan mataku padahal esok aku harus bangun pagi untuk bertemu dengan kakak, adik dan ibu tiriku.

Kucoba untuk naik ke jendela yang lebih luas dan lebih tinggi. Aku tak peduli, kujulurkan lepas kedua kakiku keluar jendela. Dari sini aku bisa melihat semua, pemandangan malam di luar. Jalanan kota, gedung-gedung tampak menjulang angkuh di kejauhan. Dan tiba-tiaba mendung yang menggantung berganti dengan bintang-bintang di langit luas bertabur indah. Seperti menyambut kedatanganku di tempat baru ini.

Sudah menjadi kebiasaanku sebelum tidur aku menatap ke langit luas. Entahlah apa yang aku cari di sana. Satu hal yang pasti, keheningan malam mampu menenangkan hatiku yang gelisah dan bintang-bintang di langit itu membuatku tetap ingin punya harapan. Kadang aku juga bisa melihat sahabatku Ra di sana, di antara bintang-bintang. Ia tersenyum padaku, atau dia sedang merenung sendiri atau juga dia sedang bersenang-senang dengan minuman dan teman wanitanya. Aku bisa melihatnya di sana di antara bintang-bintang dan dia berkata seperti yang pernah dituliskan dalam e-mailnya.

Syan,

Aku adalah bintang di langit tergelap dan kau harus membuka jendela dan pintu batinmu untuk menerimaku, bersamaku kubawa kau menikmati pesona malam karena di sanalah kita akan bersinar lebih terang dan di tempat gelaplah kita bisa melihat terang ...

Dan itulah sepenggal e-mail yang pernah dituliskannya untukku. Gelap terang hidupnya selalu diceritakannya padaku. Terkadang aku sendiri tidak tahu apa yang dia ceritakan padaku dengan bahasa kiasannya yang kadang tidak aku mengerti. Tapi Ra selalu ada meski kadang menghilang dan tidak menulis untukku tapi dia ada dan aku percaya. Saat berkomunikasi dengan e-mail

Aku merasa aku dan Ra seperti matahari dan hujan yang menjelma menjadi warna-warni yang tergaris indah di langit. Meski sesaat warnanya memudar, pucat dan hilang namun pelangi tetap indah, meski hanya sesaat tetapi indah dan cukup memberi kedamaian di hati dan membuktikan bahwa persahabatanku dengan Ra masih dengan cara yang eksklusif, sangat ada di sini di hati.

“Syan, apakah kau tidak bisa turun dari jendela itu?” Suara yang sudah kukenal mengagetkanku.

“Eh, maaf, Yah…”

“Sedang apa sih kamu?”

“Eh..enggak..”

“Nglamun, ya?”

“Nggak, Yah. Cuma lihat bintang.”

“Bintang. Sejak kapan kau suka lihat bintang?” Aku hanya tersenyum.

“Jangan terlalu banyak ngelamun ‘ntar kesambet. lho. Sudah, kamu tidur sekarang. Besok harus bangun pagi. Besok aku akan mempertemukanmu dengan keluarga Ayah. Kumohon kamu bisa menjaga sikap di depan mereka.”

“Aku tahu itu.Yah”

“Bagus, sekarang tidurlah.” Ayah segera beralalu dan kututup pintu itu. Aku kembali ke jendela menatap bintang dan berharap besok aku bisa melewati semuanya.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun mandi bersih dan aku sudah siap ketika Ayah datang ke kamarku. Aku mengikuti Ayah turun ke bawah dan duduk di sebuah meja makan. Sudah menunggu seorang perempuan yang sedang memangku anak kecil yang mungkin baru berumur empat tahun. Perempuan itu mungkin seumuran ibuku. Ia menatapku aneh. Mungkin inilah istri ayah yang diceritakan itu. Di sebelahku, Ayah duduk tenang sementara di sebelah kiriku. Seorang cewek yang mungkin usianya dua tahun di atasku. Inikah keluarga Ayah?

“Cepet dong, Pa. Ersta mau kuliah nih.” Seru cewek di sampingku. Baru sekali bicara saja aku sudah bisa membaca kira-kira seperti apa cewek ini.

“Baiklah. Mama, juga Ersta. Berat ini kukatakan pada kalian…” ucap Ayah memulai pembicaraanya.

“Kurasa kalian sudah tahu bahwa dulu papa sudah mengakui pada kalian bahwa papa pernah menjalin hubungan dengan perempuan bernama Palupi…” semua diam seperti beku hanya Ayah yang bicara. Beberapa kali cewek di sampingku yang mengaku bernama Ersta itu melirikku. Sementara perempuan seumuran ibuku itu beberapa kali juga menatapku. Aku jadi tak menentu. Ingin sekali aku berlari dari tempat itu. Ingin sekali aku kembali pada kehidupanku sendiri. Oh,Tuhan aku sudah seperti tersangka yang lemah di hadapan hakim.

“Ini adalah Syan, anak dari Palupi…” kata Ayah pelan. Sekilas kulihat raut muka perempuan seumuran ibuku itu berubah. Aku tahu perempuan itu terluka oleh apa yang diucapkan Ayah padanya. Sementara cewek di sampingku memandangiku dari atas ke bawah seperti hendak menelanjangiku. Suasana seketika mencekam. Aku sendiri hanya diam mencoba menghadapi semua itu dengan tegar.

“Sebelumnya papa minta maaf tak memberi tahu kalian sebelumnya. Tapi kurasa kalian bisa mengerti. Paling tidak papa tidak membohongi kalian. Papa jujur kalau papa punya anak dari Palupi. Dan kuharap kalian bisa mengerti. “ sejenak ayah melihatku sebelum kembali bicara.

“Untuk sementara, Syan akan tinggal di sini. Papa harap mama, Ersta, dan juga kau Syan, kalian bisa rukun dan saling menjaga…” tak kudengar sepatah katapun dari mereka aku hanya bisa melihat perempuan seumuran ibuku itu menangis. Aku tahu ia menagis karena aku sudah datang ke tempat ini. Semestinya aku tidak mengganggu kebahagiaan mereka. Semestinya aku tidak di sini.

“Ma, maafkan aku..” ucap Ayah tertahan. Perempuan itu hanya diam masih dengan tangisnya sementara aku serba salah dibuatnya. Ingin sekali saat itu aku bicara dengan Ayah. Ingin sekali rasanya aku kembali ke kostku. Ingin sekali.. tapi untuk apa aku di sini. Kami semua diam. Diam dengan pikiran kami masing-masing entah sudah berapa lama. Aku harus berbuat sesuatu, aku harus bicara pada mereka meski apapun yang akan terjadi. Kusenggol lengan Ayah dan kubisikkan sesuatu padanya.

“Ayah, Syan boleh bicara pada mereka?” ucapku pelan.

“Tentu, Syan.” Jawab Ayah singkat. Kutatap mata Ayah memastikan bahwa aku tidak melanggar aturannya. Dengan hati-hati kucoba menyampaikan apa yang ada di hatiku. Aku hanya ingin semuanya menjadi baik dan tidak terganggu dengan kehadiranku. Tadi kupikir Ayah akan menyembunyikan statusku di depan mereka, tadi kupikir Ayah akan memintaku berpura-pura jadi sopir atau pembantunya. Sama sekali tak kukira kalau Ayah berterus terang pada mereka. Dan Aku semakin yakin bahwa orang di sampingku ini benar-benar Ayahku. Kurasa dia tidak akan melakukan ini kalau aku bukan anaknya.

“Maaf, sesungguhnya aku juga tidak ingin mengganggu kehidupan kalian. Sesungguhnya aku tidak ingin membuat kalian sakit. Asal kalian tahu, akupun terluka dengan semua ini. Tapi semuanya sudah terjadi yang harus kita lakukan mungkin hanya menerima dan pasrah pada Tuhan. Dan menerima semuanya dengan ikhlas, sesungguhnya aku juga tidak ingin di sini, ini bukan kemauanku. Kalian jangan khawatir, kalian tidak akan melihatku lama di sini. Aku tidak akan merebut Ayah juga suami kalian…”

“Adik, Syan“ ucap perempuan seumuran ibuku itu.

“Dik Syan, kita ga perlu menyalahkan siap-siapa dalam hal ini. Memang seharusnya kita bisa ikhlas menerima semua ini. Benar memang yang Adik Syan katakan. Dan memang saya sebagai ibu tiri Adik Syan. Tapi jangan anggap Ibu, ibu tiri anggap aku seperti ibu Adik Syan dan Adik Syan boleh tinggal selama yang Adik Syan mau.” katanya pelan, aku jadi ingat ibuku dan aku sangat terharu mendengarnya.”

“Terimakasih, Ibu sudah percaya padaku” ucapku. Ia tersenyum aneh, senyum yang tak bisa kutebak. Kuharap semua yang ia katakan itu bukan sandiwara di depan Ayah saja. Kuharap semuanya tulus.

Aku tinggal di rumah Ayahku dengan kamar besar yang lengkap. Namun aku tidak merasa nyaman dengan semua fasilitas yang diberikan ayah padaku. Meski semua kebutuhanku terpenuhi tapi ada sesuatu yang mengganjal yang tak bisa aku ceritakan pada Ayahku. Yaitu masalahku dengan ibu tiriku, meski waktu pertama kami dipertemukan, kami seperti saling menerima dan memaafkan. Namun kenyataannya, hari-hari aku mencoba sebisa mungkin menghindari kontak dengan ibu tiriku. Sementara Ibu tiriku pun sama, setiap berpapasan denganku, wajahnya menunjukkan sikap yang tidak ramah.

Cara bicara dan tindakannya padaku menunjukkan bahwa ia tidak menginginkan aku ada di rumahnya. Apa yang kuduga benar, dia hanya kelihatan baik di depan suaminya. Ini membuatku lebih semangat untuk mencari pekerjaan. Aku ingin segera cepat pergi dari rumah Ayah. Bahkan kadang-kadang aku tak pulang, aku menginap di tempat Farid atau Udin, teman kerjaku waktu itu. Hidupku kurasakan kian tak menentu saja, aku ingin satu saat Ayah mengetahui apa yang terjadi antara ibu tiriku dan aku. Jujur, aku sendiri tidak ingin kejadiannya seperti ini. Belum lagi aku harus menghadapi Ersta anak mereka yang seperti ingin muntah saat melihatku.

Aku sudah menduganya. Aku sudah mengira bahwa ini akan terjadi. Cerita klise seperti ini sering kali terjadi dalam banyak rumah tangga. Aku tahu aku tak sendiri. Ada banyak keluarga di luar sana yang mungkin bernasib seperti aku. Itulah mungkin yang membuat aku bisa lebih menerima semuanya dengan ikhlas. Mungkin juga ada banyak ibu tiri yang bilang pada anak dari istri suaminya, bahwa ia bisa menyayangi anak suaminya seperti ia menyayangi anaknya sendiri tapi kenyataanya, itu hanya bualan. Bulshiit di depan suaminya.

Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Aku masih di jalan. Enggan rasanya aku untuk pulang. Setelah siang tadi melamar pekerjaan, mengikuti interview, setelah itu ke toko buku. Dan terakhir kuhabiskan waktuku di warnet hingga larut. Hanya dengan cara beginilah aku bisa membunuh waktu, menghilangkan kebosanan-kebosanan hidup yang seperti menyesakkan dada.

Kulangkahkan kakiku keluar dari warnet. Sengaja aku hanya jalan kaki. Jarak dari warnet ke rumah juga tidak terlalu jauh. Udara dingin seperti menusuk tulang tapi aku sangat menikmatinya, menikmatinya. Kuedarkan pandanganku ke langit, bintang-bintang bertabur indah di sana. Ada damai yang tiba-tiba merasuk ke dalam jiwaku, entah apa aku sendiri tidak tahu. Setiap kali kutatap bintang-bintang itu, aku seperti menemukan diriku kembali. Aku seperti memiliki harapan untuk bisa seperti bintang-bintang itu, berpijar dengan sinarnya menerangi langit malam. Mungkinkah nanti aku bisa seperti bintang di gelap malam yang bisa menerangi sesama dengan sinarku? Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang sepi. Hanya ada beberapa pedagang yang masih terjaga dan sesekali mobil yang melintas. Kuhentikan langkahku di sebuah warung lesehan di dekat taman.

“Bang, pecel ayam satu ya.” Pesanku pada Abang penjual pecel. Dari sini aku bisa makan sambil menikamati taburan bintang di langit. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, di rerumputan yang tak jauh dari tempat itu aku bisa melihat jelas sepasang kekasih yang tak muda lagi sedang memadu kasih. Kurasa mungkin salah satu dari pasangan itu atau bahkan keduanya sudah berkeluarga. Kalaupun mereka suami istri tidak mungkin mereka melakukan hal seperti itu di tempat ini. Mungkin itulah yang dilakukan Ayah dan ibu waktu itu. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Mereka tidak pernah memikirkan bahwa yang mereka lakukan akan melahirkan anak-anak yang kehilangan jati diri seperti aku. Kenapa manusia begitu serakah kenapa mereka tidak cukup dengan pasangannya? Kenapa mereka tidak bisa dengan satu cinta?

“Kok nglamun, Dik?” Ucap abang pedagang itu sambil memberikan menunya padaku. Selesai makan, aku segera beranjak dari tempat itu. Berjalan melewati gerbang perumahan .

“Kemana, Dik?” Tanya security perumahan itu sedikit menggertak.

“Saya tinggal di sini.”

“Di mana? Blok berapa?” tanyanya curiga.

“Coba lihat KTPnya.” aku mulai kesal dengan ulah security itu. Apakah aku punya tampang penjahat.

“Pak, kalau bapak ga percaya, ayo ikut saya pulang. Saya di blok Fa.120. Saya anak Pak Nando.”

“ Maaf dik, bukannya Pak Nando ga punya anak cowok sebesar kamu? Anaknya yang cowok itu kan baru berumur lima tahunan. “ urainya sedikit ramah.

“Bapak sepertinya tahu tentang keluarga pak Nando?”

“Sebelum jadi security, saya pernah kerja di rumah itu.”

“Saya anak dari istrinya yang lain.” Security itu diam . tampak bingung.

“Sekarang saya sudah boleh lewat?”

“E..eh. Silakan, Dik.” ucapnya masih bingung. Rasanya ingin sekali aku tertawa melihat tingkah security itu. Sampai di pintu gerbang, kutekan bel. Tetapi tidak ada yang keluar membukan pintu pagar teralis itu. Kucoba sekali lagi tapi sia-sia. Akhirnya kupanjat saja gerbang itu. Aku hampir terjatuh saat melakukannya. Sampai juga aku di dalam. Dengan mengendap-endap, aku naik tangga membuka kamarku dan kuhempaskan tubuhku ke peraduan sebelum aku benar-benar terlelap kudengar suara air kran. Ah rupanya sudah pagi. Mbok Ti, pembantu itu sudah menyalakan airnya untuk memasak berarti sekarang sudah pagi.

Seperti biasa, aku tak pernah bisa bangun pagi. Begitu kubuka mata, ayah sudah berada di sampingku dengan koran pagi di tangannya.

“Dari mana kamu semalam?” tanya ayah.

“Ya, cari kerja, lah. Yah.”

“Cari kerja apa selarut itu? Jangan pikir Ayah ga tau kau pulang manjat gerbang, baru di sini beberapa minggu saja kau sudah ga bener. Kemana kamu semalam?”

“Syan cari kerja, Yah. Setelah itu mampir ke temen. Pulang dari temen, Syan langsung ke warnet. Kemudian makan, baru Syan pulang.” uraiku jujur. Ayah sejenak diam. Diedarkannya sejenak matanya padaku. Seperti ragu untuk menyampaikan sesuatu padaku. Ditatapnya mataku sebelum ia bicara.

“Syan, kuharap kau bisa lebih sedikit sopan dengan istri Ayah.”

“Maksud Ayah?”

“Katanya kau tak pernah sekalipun bicara dengannya.”

“Yah, aku tidak bicara pada ibu bukan berarti aku membencinya, bukan berarti aku tidak suka padanya. Syan hanya tidak punya keberanian. Syan hanya takut jika aku bicara padanya justru aku akan melukainya. Karena jujur, Syan katakan beberapa hari ini sikap ibu pun sama Syan juga kurang ramah. Syan juga bisa mengerti, memang takdir sudah menentukan bahwa anak tiri dan ibu tiri itu tak pernah bisa akur kalaupun ada itu mungkin seribu banding satu.”

“Syan, kau bicara apa!”

“Yah, Syan hanya bicara jujur. Asal Ayah tahu, aku tak pernah memiliki rasa benci sedikit pun pada ibu tiri Syan. Syan tahu diri, Syan sadar. Syan hanya anak dari hubungan yang tidak resmi. Syan sadar, Syanlah yang mengganggu ketenangan keluarga Ayah. Kalaupun Syan bisa, Syan ingin segera keluar dari rumah ini, Yah. Agar semuanya kembali tenang”

“Ayah bingung, apa yang harus Ayah lakukan. Ayah tidak ingin melukai satu di antara kalian. Ayah tidak ingin mengecewakan istri Ayah dan Ayah juga tidak ingin melukaimu lagi, Syan.”

“Biar Syan saja yang ngalah, Ayah.”

“Maksud Syan?”

“Kalau Ayah izinkan, Syan ingin kembali lagi ke kost.”

“Tapi Syan, bukankah kau baru beberapa minggu ada di sini. “

“Sebenarnya Syan pun ingin kita tetap bersama .. tapi jujur, Syan tidak nyaman di sini. Entahlah, Syan merasa bersalah dan merasa sudah menggangu kehidupan keluarga Ayah.”

“…Maafkan Ayah Syan,sesungguhnya Ayah juga ingin kau tetap di sini. Ayah ingin tetap bisa melihatmu setiap hari. Sungguh…maafkan Ayah. Ayah sempat berpikir bahwa untuk menghindari konflik antara kau dan istri juga anak Ayah. Ayah sempat memintamu untuk berpura-pura jadi sopir Ayah. Tapi kurasa tidak adil untukmu. Dan ayah mencoba untuk jujur di depan mereka meski pahit dan kenyataannya pun seperti ini.”

“Udahlah, Yah, Syan juga minta maaf. Karena Syan, semuanya jadi begini.”

“Kau ga pernah salah, Syan. Kalau aku dalam posisi kamu mungkin aku akan menuntut Ayahku, mungkin lebih dari itu. Tapi kau anak baik. Kau mengerti dengan kondisi keluarga Ayah. Ayah jadi merasa semakin berdosa saja.”

Aku hanya diam di samping laki-laki yang telah meniupkan nafasku ke dunia itu.

“Jadi, apa yang harus Syan lakukan, Ayah?”

“Kamu di sini saja dulu, Syan. Nanti kalau kamu memang sudah benar-benar ga tahan, Ayah akan kembalikan kamu ke kost.” Kami terdiam. Entah sudah berapa lama kami terdiam. Aku hanya bisa menatap ke luar jendela, menghela nafas untuk mengeluarkan rasa hampa yang menyesakkan dada. Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali pasrah. Aku harus menuruti kata-katanya karena dialah alasan sesungguhnya aku datang ke Jakarta. Tapi kurasa, akulah mungkin yang akan mengalah dan membiarkan Ayah dimiliki keluarganya dan memang mereka lebih berhak dari pada aku dan ibu.

“Kau bisa kan, Syan. Nanti biar Ayah bicara dengan istri Ayah agar mereka bisa lebih menerimamu dengan baik.”

“Ayah, sesungguhanya Syan ke Jakarta ini hanya ingin bertemu Ayah hanya ingin melihat orang yang sudah menghadirkan Syan ke dunia. Maafkan hati Syan, kadang-kadang Syan berharap lebih. Syan berharap memiliki Ayah seutuhnya seperti mereka. Tapi Syan sadar, ini tidak akan mungkin.” Ayah menghela nafas kemudian merangkul pundakku menepuk-nepuknya.

“Ayah tak bisa berkata apa-apa lagi dan maafkan jika Ayah tak pernah bisa membahagiakanmu. Maafkan jika Ayah terlalu jahat padamu. “ Aku hanya diam dan bersandar di dadanya.

“Syan, akupun tahu yang kau rasakan. Baiklah, untuk menghilangkan kebosananmu bagaimana kalau kita hari ini keluar untuk jalan-jalan. Kamu berangkat duluan dan nanti kita ketemu di fast food biasa kita makan.” senang sekali rasanya mendengar Ayah mengajakku jalan-jalan. Aku mengerti ayah menyuruhku berangkat duluan karena tidak ingin keluarganya tahu kalau Ayah bersamaku.

“Bagaimana, Syan?” aku mengangguk sambil masih bersandar manja di dadanya. Entahlah, di dekat Ayah aku seperti anak kecil lagi yang selalu ingin dilindungi padahal banyak hal yang sudah aku lalui sendiri sepanjang hidupku.

“Sudahlah, sekarang Syan mandi, Ayah juga mau siap-siap.” Ayah mencium pundakku.

“Tuh, kan bau asem… he..he..” candanya, aku hanya tersenyum dan beranjak ke kamar mandi. Sementara Ayah keluar, sebelum pergi Ayah bilang bahwa ia nanti akan sms aku. Aku jadi ingin tertawa. Satu rumah aja pakai sms-an. Selesai mandi, kulihat handphoneku ada satu pesan.

“Syan, kalau udah mandi kamu berangkat dulu. Tunggu Ayah di toko buku Media.”

Aku segera menuruni tangga, melewati ruang tamu. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Memastikan bahwa aku tidak melihat ibu tiriku dan Ersta anaknya. Saat kurasa aman, aku melanjutkan langkahku melewati teras terus ke taman dan sampai di pintu gerbang yang angkuh seperti pintu penjara bagi jiwaku.

Membuka gerbang besar itu seperti membuka kebebasanku. Seperti seorang pelarian. Sebuah mobil umum yang meluncur ke arahku membuatku girang. Aku segera melambaikan tanganku menghentikan mobil itu. Sebentar kemudian mobil sudah melaju meninggalkan rumah besar berteralis angkuh itu menuju satu tempat yang dijanjikan Ayah. Ada perasaan lega saat aku keluar dari rumah besar itu. Laksana narapidana yang sudah bertahun-tahun di penjara aku seperti menghirup udara kebebasanku.

Sampai di tempat tujuan, Ayah sudah menungguku sambil membaca buku di tangannya. Padahal tadi aku yang duluan berangkat. Terang saja, Ayah pakai mobil sendiri. Toko buku itu belum begitu ramai, Ayah duduk di bangku yang biasa disediakan untuk membaca.

“Duduklah, Syan.” Kata Ayah padaku, aku tersenyum senang melihat wajah Ayah.

“Kenapa kamu?”

“Eh..enggak… Syan hanya senang bisa berdua dengan Ayah.”

“Baiklah, sekarang Syan mau apa?”

“Syan hanya ingin mengulang masa kecil yang dulu tidak Syan dapatkan dari Ayah.” ucapku ragu. Kening Ayah tampak berkerut.

“Sekarang Syan lupakan semua masalah, Ayah akan mengajakmu bersenang-senang.“ bisiknya sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Sekarang bersemangatlah, siapkan dirimu.” Aku tersenyum senang meski aku tidak tahu ayah mau mengajak aku kemana, tapi kurasa ini akan menyenangkan. Setidaknya aku akan menghabiskan waktuku seharian dengan ayahku. Ketika ayah menggandengku ke mobil dalam hati aku bersorak girang. Akhirnya bisa juga aku jalan-jalan dengan Ayahku. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ayah memperhatikan aku.

“Syan,” katanya.

“Kalau di rumah, mereka merebutku darimu, kalau di rumah aku milik mereka, sekarang aku adalah ayahmu. Kau bebas minta diantar kemana pun yang kau mau dan kau bebas minta sesuatu padaku, ayo lakukan.” ucapnya bersemangat dan aku seperti mimpi mendengarnya.

“Aku tidak tahu, Ayah. Aku bahagia mendengarnya.”

“Ayolah, kau yang menentukan kita kemana?”

“Baiklah Ayah, kemana saja asal seharian bersama Ayah, Syan akan senang.”

“Bagaimana kalau kita makan di restoran dulu, setelah itu belanja semua kebutuhanmu.”

“Ayah, senang sekali aku mendengarnya, tapi Ayah nggak perlu melakukan itu.”

“Syan, hari ini aku adalah ayahmu, hari ini aku akan berbagi bahagia denganmu.”

“Ayah, ini sungguh kejutan.”

“Syan, Ayah tahu kau tidak pernah merasakan perhatian Ayah dan hari ini adalah hari ulang tahun Ayah.”

“Kenapa tidak Ayah rayakan dengan istri dan anak-anak Ayah?”

“Di keluarga ayah tidak ada hari yang istimewa. Setiap ada ulang tahun, kami tak pernah merayakannya. Paling kami merenung apa-apa yang pernah kami lalui dan apa yang harus kami lakukan ke depan. Jadi tidak ada salahnya jika hari ulang tahunku ini aku akan melakukan sesuatu untukmu. Sekali-kali aku ingin merayakan dengan anakku yang baru aku temui.” Ayah mendorong tongkat perseneling mobilnya ke posisi netral. Kami sudah sampai ke sebuah mal yang cukup terkenal di Jakarta.Ayah menoleh padaku sambil melepas kaca matanya dan membersihkanya dengan sapu tangan kemudian memakainya kembali.

“Ayolah, Syan.” Ayah menggandengku masuk ke sebuah restoran Jepang. Tak pernah terbayang aku akan makan di restoran Jepang. Paling banter aku makan di fast food. Itupun juga paket hemat yang paling murah.

“Kamu boleh pesan apa saja.” Ayah menyodorkan catatan menu padaku.

“ Wah, aku ga tahu Ayah, aku ga biasa makan makanan yang yang seperti ini. Ayah aja yang pesan.” ucapku malu-malu. Ayah tersenyum kemudian ia mencoret beberapa menu itu dan memberikannya pada pelayan. Kira-kira lima menit kemudian pesanan kami sudah diantar.

“Syan, apa kau ingin sesuatu? Barang apa yang ingin kau miliki?” kata Ayah sambil mengunyah makanannya.

“Waktu kecil aku punya mimpi untuk memiliki sebuah kamera,waktu itu aku ingin memotret ayah dan ibu dan memajang gambarnya di kamarku. Biar aku bisa memandangi ayah dan ibu yang tersenyum bahagia. Tapi ayah tak pernah aku temukan. Setiap kali aku tanya pada ibu soal ayah, ibu marah-marah waktu itu dan setiap kali ada laki-laki dewasa aku ingin memeluknya dan mengatakan pada ibu, ‘Bu, itu ayah’, tapi ibu malah marah-marah..hehehe..lucu sekali sepertinya, ya” aku tertawa mengingat masa kecilku.

Tapi Ayah tampak sedih. Beberapa kali ditepuk-tepuknya pundakku. Ia menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. Mungkin penyesalan atau kata maaf yang sering kali diucapkannya. Tapi tidak keluar, seperti tercekat di kerongkongannya. Lama sekali ia memperhatikan makanku. Diam dan hanya diam.

“Sekarang mau kemana?” ucapnya setelah melihatku selesai makan.

“Terserah, Ayah.” Keluar restaurant Ayah menggandengku jalan keliling mal dan berhenti di sebuah kounter kamera. Ayah membayar sebuah kamera digital dan memberikannya padaku.

“Ini untukmu.”

“Ayah, ini mahal.” ucapku meski aku tahu ayah cukup kaya hanya untuk membeli kamera yang seperti itu.

“Syan, aku tak pernah memberikan apapun selama ini, bergembiralah dan jangan menolaknya. Apa lagi yang kamu inginkan Syan? “

“Syan ga ingin apa-apa, Ayah. Syan hanya ingin bersama Ayah.” Ayah merangkulku hangat dan kami berjalan beriringan. Oh, bangga sekali aku berjalan dengan laki-laki berkaca mata, berambut tipis itu. Mungkin bagi orang lain ini biasa tapi buatku ini adalah sesuatu yang sangat istimewa. Sesekali aku meliriknya dan tidak ada sedikit pun beban di wajahnya. Aku merasa senang.

“Syan, Ayah kagum padamu.”

“Kagum?” tanyaku tak mengerti.

“Ya, sejak kecil Ayah tak pernah ada di sampingmu, Ayah tidak pernah melihat bagaimana kau tumbuh. Mungkin dulu kau dibesarkan dengan ketidaknyamanan. Ketidakstabilan karena tidak ada ayah yang mendampingimu. Tapi kau tumbuh menjadi baik dan tidak menjadi lain.

“Menjadi lain maksud Ayah?”

“Kau tidak jadikan semua penderitaanmu sebagai alasan untuk melakukan kenakalan. Kau anak yang baik…hanya saja kau kekanak-kanakkan. Dan Ayah bisa pahami itu. Itu juga karena kesalahan Ayah.”

“Ayah tak pernah salah.“ ucapku, Ayah melirikku tersenyum hangat kemudian merangkulku lebih erat.

“Kau anak yang bisa memahami, Syan. Ayah bangga padamu.” Ucapnya sambil tak henti-hentinya menepuk-nepuk pundakku.

“Syan ..” katanya

“Kau boleh merengek minta sesuatu padaku. Kalau kau berhasil aku akan mengabulkanya.“ Ayah membuat permainan.

“Benar, Yah?”

“Ya, aku punya dana satu juta lagi. Aku tidak akan pelit membelanjakannya untuk segala keperluanmu. Jadi, pelajaran pertama adalah : Ayah belikan aku…” sungguh aku senang sekali. Senang bukan karena jumlah yang ditawarkan ayah untukku tetapi karena aku mendapatkan perhatian dari ayah yang sudah aku impikan sejak lama.

“Baiklah, Ayah” aku menggenggam tangan Ayah memintanya untuk berhenti berjalan, agar ayah bisa lebih jelas mendengarku.

“Satu juta banyak sekali, Ayah.”

“Tidak terlalu banyak untuk membeli keperluan anak remaja sepertimu. Ayah ingin kamu merasakan senang dan ini sangat sedikit kalau dibanding dana untuk merayakan ulang tahun. Karena kau tidak merayakannya, tidak ada salahnya aku menyisihkannya untukmu.”

“Baiklah, Ayah. Ayah dengar aku akan merengek.”

“Ayolah, nak.“ Ayah tidak sabar mendengarku.

“Ayah, aku sangat menghargai perhatian yang Ayah berikan padaku. Sungguh aku merasa sangat diperhatikan belum pernah aku mendapatkan perhatian yang seperti ini. Bahkan ibu tak pernah memanjakanku sedemikian rupa. Baikalah Ayah, aku meminta…”

“Apa yang kamu inginkan, Syan?” aku hanya meminta agar bisa tetap bersama Ayah. Aku ingin tetap bisa memanggil Ayah, Ayah dan Ayah itu saja yang bukan untuk saat ini tapi seterusnya. Aku ingin Ayah tetap membimbingku saat aku jatuh dan aku ingin saat aku jatuh ada tangan yang bisa aku raih, aku juga ingin dimarahi jika aku salah. Dan juga ingin dipuji saat aku berhasil dengan sesuatu. Aku juga ingin Ayah mengajariku banyak hal. Apakah permintaanku terlalu banyak Ayah?” Ayah menatapku. Tatapannya begitu teduh, diraihnya tanganku dan menggenggamnya hangat.

“Syan, Ayah akan mencobanya. Mudah-mudahan aku bisa seperti yang Syan harapkan. Andai saja keluargaku bisa menerimamu denagan ikhlas, Syan.”

“Syan bisa mengerti kalau keluarga Ayah tidak menyukai Syan. Mungkin jika Syan dalam posisi mereka, Syan pun akan lakukan yang sama. Siapa sih yang mau suami,dan ayahnya direbut seseorang yang tiba-tiba datang mengaku sebagai anak dari suami dan Ayah.”

“Sudahlah, Syan. Bukankah kita datang ke sini untuk mencoba melupakan sejenak masalah kita, bukankah kita kesini untuk bersenang-senang?”

Hari itu aku puas bersama Ayah, berbagi cerita tertawa-tawa sampai perutku sakit. Tak ada yang menghalangiku. Akhirnya dengan tiga tas belanjaan penuh barang, kami kembali pulang. Sejak saat itu aku dan ayah sering melakukan rahasia-rahasia berdua tanpa diketahui istri dan anaknya. Saat ayah ingin mengenang masa lalunya, ingin cerita soal ibu, ayah mengajakku keluar, kami makan di luar tanpa harus terganggu dengan anak dan istrinya. Kadang-kadang Ayah juga menyusup ke kamarku hanya untuk berbagi cerita denganku.

Aku mulai melupakan sikap ibu tiriku dan Ersta padaku. Kurasakan aku mulai betah tinggal di rumah itu, mungkin karena perhatian ayah yang begitu besar padaku. Namun akhir-akhir ini gelagat kami mulai tercium. Beberapa kali saat ayah tidak ada di rumah, ibu tiriku menanyakan apakah ayah bersamaku .

Seperti biasa, diam-diam aku melakukan pertemuan dengan ayah. Seperti biasa, kami makan di restoran yang sama. Kami selalu bicara dari hati ke hati. Dan kurasakan hubunganku dengan ayahku semakin dekat. Setiap kami berdua, ayah selalu ingin tahu cerita-cerita tentang ibu. Dan ayah selalu khusuk mendengarkan cerita-ceritaku jika itu tentang ibu.

“Ayah.” ucapku

“Sesungguhnya Ayah bukan satu-satunya alasan Syan datang ke Jakarta ini…”

“Lalu..”

“Syan kecewa dengan ibu.”

“Kecewa, kecewa kenapa? “

“Seperti yang pernah Ayah katakan bahwa ibu bercinta dengan banyak orang…”

“Maksudmu?” selidik ayah ingin tahu.

“Baiklah,Yah. Syan akan cerita yang sesungguhnya apa sebenarnya yang terjadi dengan Ibu. Saat Syan mulai masuk SMU, ibu tak seperti yang Syan kenal sebelumnya. Ibu yang dulu bisa membimbing Syan dengan penuh kasih sayang mulai berubah. Satu hari ibu membawa laki-laki ke rumah, Syan pikir itu mungkin itu pacar ibu dan akan menjadi calon ayah untuk Syan. Tapi malam berikutnya, Ibu membawa laki-laki lain ke kamarnya. Sejak saat itu Ibu menjadi temperament padaku. Syan merasa ibu tidak seperti ibu yang Syan kenal selama ini. “Ayah masih khusuk mendengarkanku, wajahnya tampak murung, seperti terluka tapi mencoba ditutupinya.

“Teruskan Syan..”

“Aku seperti musuhnya saat ada laki-laki di sampingnya, bahkan ibu suka marah-marah tanpa sebab. Kadang aku merasa aku tak pernah diharapkannya. Waktu itu Syan merasa Syan tidak memiliki siapa-siapa lagi. Syan tidak tahu apakah setiap orang tua itu selalu benar…” kuperhatikan dari sudut matanya yang penuh guratan garis itu ayah tampak sedih, garis-garis di sudut mata itu tampak bergerak-gerak seperti menahan sesuatu dan bola mata itu berkaca-kaca.

“Ayah menangis…?”

“Iya, Syan. Tapi Ayah tidak menangisi ibumu. Syan, betapa sejak kecil kau tak pernah merasakan kebahagiaan…Ayah merasa berdosa.“

“Tidak Ayah..Ayah tidak salah. Semua ini sudah atas kehendak-Nya.“ hiburku.

“Syan, kau adalah anak Ayah yang paling hebat, Ayah bangga padamu bahkan sangat bangga, kau mampu menghadapi semuanya.. Ayah yakin satu saat kau pasti bahagia..” Ayah meraih tanganku dan menggenggamnya. Sementara matanya yang basah tak henti-hentinya menatapku. Kurasakan sesuatu mengalir hangat dalam tubuhku.

Tuhan, aku mencintainya. Izinkan aku untuk tetap memilikinya. Biarkan dia terus membimbingku dan jangan biarkan mereka merebutnya dariku lagi. Kumohon Tuhan. Kubisikkan pintaku berulang kali pada Tuhan. Tak terasa mataku pun basah. Tangan kami yang bergenggaman bergetar oleh sengguk yang begitu hebat. Perlahan ayah melepaskan genggamannya dan tangannya yang hangat menyentuh pipiku yang basah oleh air mata.

“Syan,” katanya tertahan

“Sesungguhnya Ayah sangat mencintaimu.”

“Syan juga Ayah..” beberapa orang di restoran itu tampak memperhatikan kami. Kami tak peduli dan masih tenggelam dalam keharuan yang membiru. Namun suara handphone dari saku kemeja Ayah membuyarkan kami.

“Iya, Ma. Papa lagi meeting, nanti pasti pulang…” sapa Ayah dengan seseorang di seberang.

“Anak itu.. tidak, dia tidak sedang bersamaku. Mungkin lagi ke tempat temannya…” aku tidak mendengar lawan bicara Ayah yang di seberang tapi aku tahu dia pasti istri ayah dan aku tahu dia membicarakanku dan cemburu setiap kali aku bersama Ayah.

“Ma, kalaupun aku bersamanya, dia juga anakku kumohon Mama bisa mengerti…” Ayah menutup handphonenya dan menaruhnya di meja. Namun handphone itu kembali berdering dan Ayah membiarkannya. Handphone itu terus berdering, ayah mengambilnya dan mematikannya.

“Syan, sudah saatnya kita pulang, kau sudah tahu aturannya kan?” aku mengangguk. Aku tidak boleh pulang bersama ayah. Itu kami lakukan agar pertemuan kami tidak diketahui oleh keluarga ayah.

“Ayah saja yang pulang dulu. Mereka sudah menunggu.” Ayah tersenyum dan menepuk-nepuk pipiku sebelum pergi.

“Kamu hati-hati, Syan.” Aku tersenyum sebelum ayah benar-benar berlalu. Kuperhatikan punggung ayah sampai ia menghilang tertutup pengunjung mal yang lain. Aku beranjak, aku ingin membaca di toko buku sampai puas setelah itu baru aku pulang. Atau mungkin aku ke warnet dulu untuk melihat e-mail yang mungkin sudah dituliskan Ra padaku. Ah, nanti saja, itu bisa aku cek di komputer ayah di kamarku.

Kubuka pintu gerbang teralis itu, dengan mengendap- endap aku masuk ke dalam melewati taman, garasi dan terus ke belakang berharap tidak menemukan Ersta atau ibu tiriku. Sebuah teriakan keras dari ibu tiriku dari dalam ruang tamu membuatku menghentikan langkahku.

“Pa, Papa terlalu menuruti anak yang tidak jelas itu.”

“Ma, kumohon mama bisa mengerti bahwa anak itu adalah juga darah dagingku sama seperti Ersta. Mama tidak bisa bilang dia tidak jelas yang membuat tidak jelas itu aku bukan dia, dia itu tidak berdosa.” hardik ayah pada ibu tiriku, membelaku. Aku terduduk di tangga.

“Untuk apa, Pa? Untuk apa anak itu kau bawa kesini…”

“Ma, berapa kali harus aku katakan, bahwa dia itu anakku. Asal Mama tahu, segalanya sudah papa berikan untuk kalian, tapi anak ini tak pernah merasakan sedikitpun cinta dari aku. Dia berjuang hidup sendiri padahal aku ayahnya masih sehat bahkan masih mampu untuk membiayai semua kebutuhannya…”

“Lalu apa mau papa?”

“Biarkan dia tetap tinggal di sini.”

“Baiklah, sekarang Papa pilih saja, keluarga atau anak tidak jelas itu.” Aku mendengar jelas apa yang dikatakan ibu tiriku pada ayah. Ya, aku memang tidak jelas, tidak semestinya aku berada di tempat ini. Tidak semestinya aku menggangu keluarga mereka. Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Prang…!!! Kudengar suara barang dibanting. Rupanya ayah sudah naik pitam.. semua ini karena aku. Aku harus melerainya. Entah keberanian dari mana yang membuatku bangkit dari tangga dan saat aku ingin beranjak, sebuah tangan memegang pundakku.

“Jangan, Nak,” Ucap Pak Dullah tukang kebun Ayah.

“Biar saja, nanti juga reda sendiri..” kata orang tua itu tenang.

“Pak, apakah mereka sering bertengkar?”

“Tidak kok, Nak…” ucap laki-laki itu.

“Nak, saya mau mencabut rumput dulu di depan, sebaiknya Nak Syan naik saja ke kamar.” ucap laki-laki tua itu.

Aku masih terduduk di tangga, tak kudengar lagi bentakan ayah dan jeritan ibu tiriku. Dengan gontai aku menaiki tangga dan membuka pintu kamarku. Ingin kuhempaskan semua bebanku di peraduan, kulemparkan tas ranselku dan kubanting tubuh lelahku ke kasur. Kupejamkan mataku mencoba melupakan semua yang mengganggu benakku. Namun tak bisa, ingin sekali rasanya aku teriak kalau saja aku tidak berada di kamar.

Aku masih terkapar lemah direjam kepedihan hidup yang tiada habisnya. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Sebuah lemari besar penuh buku berdiri angkuh di sisi sebuah meja kerja. Sebelum aku datang, kamar ini adalah ruang kerja ayah sekaligus tempat ayah untuk istirahat dan menenangkan diri. Di meja itu ada beberapa buku besar yang tersusun rapi dan sebuah note book yang masih terlipat. Kata Ayah, komputer di meja itu sudah tersambung dengan internet dan katanya aku boleh menggunakannya asal tidak membuka-buka file Ayah.

Aku sudah duduk di meja kerja Ayah dan siap membuka e-mailku. Ada kerinduan sendiri saat aku membuka e-mail, ingin sekali aku mendengar cerita-cerita yang mungkin sudah menumpuk yang dituliskan Ra untukku. Namun setelah kubuka e-mailku tak ada satu pun e-mail yang dikirimkan Ra untukku. Kubuka e-mail-e-mail yang lama yang pernah dikirimkannya padaku. Aku senyam-senyum sendiri dan merenung sedih. Membaca e-mailnya aku bisa merasakan apa yang ia rasakan seolah aku ada di sampingnya. Kututup kembali komputer Ayah.

Aku menuju jendela dan membukanya lebar-lebar memberi kesempatan angin sore itu menyentuh rambutku. Baru saja aku mau duduk di atas jendela terdengar ketukan di pintu, kubuka pintu kamarku dan kutemukan Ayah dengan wajah kusut dan lelah.Ayah terduduk di sampingku. Beberapa kali matanya memandangku.

“Syan, sekali lagi Ayah minta maaf ..”

“Syan sudah tahu, Yah.”

“Maafkan Ayah, Syan..” ulangnya sambil mengacak-acak rambutku.

“Ayah sesungguhnya ingin kau tetap di sini, Ayah ingin bisa melihatmu…”

“Syan ngerti kok, Yah. Ini adalah salah Syan kalau Syan tidak di sini mungkin kejadiannya tidak begini.”

“Kau tidak salah, Syan. Mereka saja yang tidak bisa mengerti.”

“Sekarang apa yang harus Syan lakukan, Ayah.”

“Ayah tidak tahu, Syan. Tapi jika kau mau, aku akan mencarikanmu tempat kost yang paling bagus biar satu saat Ayah bisa mampir dan istirahat di sana.” Ucapnya semangat meski aku tahu ada kesedihan yang dalam di hatinya.

“Bagaimana Syan, tidak keberatan, kan?”

“ Terserah, Ayah saja.”

“Itu baru jagoan, Ayah. Oke. Tinggal dulu, ya. Ayah harus turun, ibumu lagi ngambek..hehe..kamu santai saja. Ga perlu mikir macam-macam,” ucapnya sebelum turun.

Komentar

Postingan Populer