serba serbi film nasional


Eddie Bachroelhadi 04 Desember jam 2:19 Balas
* Era Kebangkrutan Film Indonesia?
Oni Suryaman

Film Indonesia memang seakan bangkit kembali dari kuburnya sejak dimulai dengan film ADA APA DENGAN CINTA, yang kemudian diikuti oleh PETUALANGAN SHERINA, dan JELANGKUNG. Sejak itu kegairahan film Indonesia bangkit sedikit demi sedikit, dan puncaknya adalah saat ini, di mana seluruh layar bioskop diisi oleh film Indonesia.
Sebuah bioskop 21 tak jarang semuanya memutar film Indonesia. Masalahnya adalah sebagian besar film itu adalah film-film sampah yang tak layak tonton. Hal ini sebenarnya juga bukan hanya monopoli perfilman di Indonesia. Dunia film di Korea Selatan juga mengalami hal yang sama. Di saat perfilman nasional mereka merosot, seluruh layar mereka diisi oleh film-film Hollywood. Di awal kebangkitan film mereka, memang diisi oleh film2 yang bermutu. Tapi begitu pasar mencium kebangkitan ini, film korea mulai dibanjiri oleh film-film sampah.
Kalau perkembangan seperti ini diteruskan, sekedar mengutip Eros Jarot adalah awal dari akhir perfilman Indonesia. Apa gunanya film Indonesia menjadi tuan rumah di rumah sendiri, kalau rumah kita malah kita penuhi dengan sampah. Siapa yang bisa mengubah ini? Berharap pada produsen film sepertinya sulit. Mereka hanya mencium uang. Yang bisa hanyalah penonton yang mau menolak untuk melihat film-film sampah. Penonton berkuasa dengan dompetnya!



* Maraknya Hawa “Seks” Film Indonesia Masa Kini
Reinard Bagus

Film, secara singkat adalah sebuah karya sastra modern yang menggabungkan gambar dengan suara (Audio Visual) yang sebenarnya merupakan suatu cerita–baik fiksi maupun non-fiksi –dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik tertentu. Semenjak abad 20, perfilman sudah mulai beredar, sebagai sarana hiburan modern bagi masyarakat, juga Indonesia.
Akhir-akhir ini, industri-industri perfilman Indonesia banyak sekali menerbitkan film-film sinema. Di antaranya yang berbasis pada suatu novel, cerita karangan, adopsi dari cerita luar negeri, maupun tanpa basis tertentu atau timbul dari pikiran si pengarang cerita itu sendiri. Inti film yang sering kita dengar akhir-akhir ini hanyalah mertumpu pada satu inti yaitu cinta.
Film cinta yang beredar di masyarakat sebenarnya memilikki poin yang tidak jauh berbeda, namun dibeda-bedain dengan kreativitas si penulis novel atau cerita film tersebut sedemikian sehingga para spektator menangkap film tersebut dari segi yang berbeda. Bahkan saking “kreatifnya” si pembuat film itu, mereka berani membuat cerita yang sama, namun dengan tempat dan suasana yang berbeda.
Indonesia modern sebagai salah satu negara “Movie Addicted” di dunia yang mempublikasikan berpuluh-puluh – bahkan ratusan – film dalam setahun pun tidak mau kalah dengan Negara-negara lain seperti Amerika, Korea, Jepang, Cina, yang membuat film cinta yang semakin hari semakin berbau seks.
Apabila kita perhatikan, pada era 1990an dimana Indonesia mengalami hal yang dinamakan “Bom Seks” , Indonesia telah berani menerbitkan berbagai film dan sinema yang berbau seks (yang sebenarnya masih ringan dari yang kita lihat sekarang), namun beberapa tahun berikutnya, terjadilah suatu hal yang membuat seks sangat dikekang dalam nusantara, sehingga tiada lagi yang berani membuat film dengan scene seks tersebut.
Namun, mulai tahun 2006, di mana negara-negara luar mulai menggarap film berkelas box office yang berbau seks kembali, Indonesia pun mulai berani menggarap film berbau tersebut kembali. Sebut saja satu film yang pada tahun 2006 yang membuat kontroversi masyarakat, Buruan Cium Gue. Pada tahun 2007 dan 2008, industri-industri perfilman Indonesia mulai berani membuat film “cinta” remaja yang sebenarnya makin melenceng dari tema “cinta” itu sendiri. Bahkan para spektator remaja yang tengah menonton film tersebut bisa berkomentar, “Gila, ini film cinta ternyata bokep juga ya?”.
Hingga mulai tahun 2008 ini, film Indonesia makin terkenal dengan pengeksposan hawa seksnya yang sangat pekat di dalam cerita, walaupun kita sendiri tahu bahwa film itu bukanlah film orang dewasa, melainkan film cinta remaja, dimana para pemainnya pun adalah para aktor dan aktris remaja. Sebutlah salah satu film yang juga menimbulkan kontroversi dalam masyarakat akhir-akhir ini, misalnya Mau Lagi? (ML) yang berkonsep seperti film berbau seks American Pie, maupun Drop Out (DO) yang bercerita mengenai mahasiswa yang terancam DO karena suatu hubungan seks.
Memang, tidak bisa kita bandingkan dengan cara ekspos seks film-film Barat, namun dalam tahap ini, Indonesia bisa kita nyatakan sudah terbuka pada budaya barat yang cukup terbuka terhadap seks, terutama dalam sinema-sinemanya (Dalam hal ini yang berkaitan adalah budaya Seks Bebas). Industri film Indonesia pun tampaknya sudah merasa akan kalah bersaing apabila film Barat dibandingkan dengan film cinta biasa yang tidak terdapat pengeksposan seksnya.
Industri film menurut saya memang tidak mempunyai pilihan apabila mereka ingin bersaing dengan film-film Barat yang kehadirannya pun diterima dalam masyarakat Indonesia. Saya rasa, ke depannya Indonesia akan dibanjiri dengan berbagai film-film cinta yang berhawa seks. Untuk itu, sebaiknya para orang tua lebih berhati-hati dalam memperhatikan film yang ditonton anak-anaknya baik di TV maupun di dalam bioskop (Sinepleks). Para remaja pun sebaiknya membaca terlebih dahulu resensi film sebelum menonton suatu fim, sehingga tidak mendapatkan ajaran moral yang buruk sebagai akibat salahnya pemilihan film, khususnya film Indonesia masa kini yang sepertinya dengan mudah dinyatakan lulus sensor. Lihatlah menuju masa depan moral bangsa kita.



* Stereotipe Film Indonesia
Rifzanniardi

Menarik juga tulisan Maraknya Hawa "Seks" Film Indonesia (Reinard Bagus). Saya ingat pernah ngobrol dengan teman saya. Saat itu entah mengapa yang menjadi objek adalah perfilman Indonesia. Padahal saya jarang sekali terlibat obrolan semacam ini sebelumnya. Yang menjadi pertanyaan kami adalah apa sih yang menjadi trade mark perfilman Indonesia? Kebetulan yang menjadi pembanding adalah film-film Cina/Hongkong dan India
Kalau bicara film Cina/Hongkong, maka kungfu langsung terlintas dalam memori kita. Hampir tak terhitung jumlah film Cina/Hongkong yang menampilkan adegan perkelahian dengan teknik kungfu. Hampir selalu ada kungfu.
Lain lagi dengan film India. Stereotipe film produksi Bollywood tentu saja kita bisa tangkap. Durasi minimal 3 jam. Nyanyian plus tarian. Mau adegan sedih, atau adegan gembira, diekspresikan dengan gerak lagu.
Lalu Indonesia? Pernah booming genre romantis. Juga genre komedi. Sekarang tampaknya trend genre horor. Sebelumnya pernah genre aksi/silat. Adakah benang merahnya? Coba kita perhatikan semua judul-judul film yang beredar. Coba kita perhatikan penampilan fisik, pakaian, dalam setiap film. Lalu apa yang bisa kita simpulkan sebagai stereotipe film Indonesia?

Sumber: www.wikimu.com

kiriman : Kedai film nasional

Komentar

Postingan Populer