YANG LUPUT DARI FILM INDONESIA II


DENGAN latar belakang seperti itu, saya terbelalak ketika menyaksikan karya-karya Mani Ratnam, sutradara terkemuka India. Karyanya Dil Se (1998) berkisah tentang cinta seorang pegawai negeri di Delhi dengan seorang gadis yang menjadi anggota pasukan bunuh diri dari sebuah gerakan separatis. Kelompok separatis ini berkampung di sebuah provinsi yang bertahun-tahun ditindas pemerintah pusat dan berupaya memerdekakan diri. Menonton Dil Se sebagai orang Indonesia menggoda angan-angan akan sebuah film Indonesia tentang kisah cinta seorang wartawan Jakarta dengan seorang pejuang kemerdekaan dari salah satu provinsi yang ingin merdeka dari RI.

Lewat dua film sebelumnya, Roja (1992) dan Bombay (1995), Mani Ratnam meneguhkan posisinya sebagai seorang sineas sekaligus komentator politik. Bertutur tentang ketegangan pejuang Tamil dan Kashmir, Roja menjadi film pertama Mani Ratnam yang mengangkat posisinya sebagai sutradara papan atas dan sekaligus sebagai perintis tahap baru sejarah perfilman India.

Bombay berkisah tentang nasib sebuah keluarga yang berkali-kali dihadapkan oleh pertentangan Hindu-Islam di sekitar peristiwa penghancuran Masjid Babri di Ayyodhia (1992) dan serangkaian kerusuhan berdarah tahun berikutnya. Film ini diawali dengan romantika sepasang kekasih dari kedua agama. Hubungan mereka ditentang keluarga masing-masing. Kisah berlanjut setelah mereka berputra dua dan bertumbuh di tengah masyarakat yang mengingatkan kita akan Ambon di tahun-tahun 1999- 2002.

Berbeda dari The Year of Living Dangerously, dalam film-film Mani Ratnam konflik sosial bukan sekadar latar yang ditempelkan di belakang sebuah kisah cinta sentimental serta rangkaian lagu dan tari khas Bollywood. Berbeda dari film dokumenter semacam The Shadow Play, karya-karya Mani Ratnam menyajikan sebuah kisah dengan detail dan kedalaman pengalaman pribadi tokoh-tokohnya ditambah pesan kemanusiaan tanpa berkotbah. Dan yang lebih penting, karya-karya Mani Ratnam merupakan jernih payah anak bangsa sendiri tentang dan pertama-tama teruntuk bangsa sendiri.

Semua itu bukan kisah keberanian dan kehebatan seorang seniman. Namun, juga masyarakat yang melahirkan dan merayakan si seniman. Mani Ratnam punya penggemar berat dan sekaligus pengecam, bahkan ada yang pernah mengancam membunuhnya gara-gara film yang dibuatnya. Terlepas dari itu, film-film politis Mani Ratnam jauh lebih laris di dalam dan luar India dibandingkan dengan karya-karya arus utama Bollywood yang sezaman. Apalagi CD dari soundtrack film-film itu. Di tangan Mani Ratnam tak ada pertentangan antara karya serius tentang politik bangsa dan karya komersial tentang romantika cinta sebagaimana sering dijadikan kambing-hitam untuk kemiskinan film bermutu.

Jika Indonesia belum memiliki seorang Mani Ratnam, mungkin kesalahannya tidak terletak pada para pekerja film itu sendiri. Masyarakat kita belum mampu menghasilkan tokoh semacam itu dan mungkin belum layak atau berhak menuntut karya film seperti Dil Se.

Sementara itu, India duduk sejajar dengan sejumlah bangsa yang telah mampu dan berani menginterogasi "aib-keluarga" lewat serangkaian film cerita komersial dalam berproses penyembuhan luka lama menjadi sebuah modal maju. Yang masuk dalam daftar ini: Amerika Serikat dengan tema perbudakan dan kekalahan perang Vietnam, Eropa dengan tema kejahatan fasisme, Australia dengan tema penderitaan kaum Aborigin.

Pengaruh Bollywood dalam sinetron dan film Indonesia sudah banyak dicatat orang. Yang mungkin masih perlu ditambahkan adalah pengaruh yang tersebar di tanah air selama ini bukan yang terbaik yang dapat diberikan Bollywood.

* Ariel Heryanto, Dosen di The University of Melbourne, Australia
Dimuat di Kompas, Minggu, 16 Januari 2005

kiriman: kedai film nusantara.

Komentar

Postingan Populer